Rakyat Sudah Kerja Sepanjang Hayatnya, dan Tetap Sengsara

0

Pidato Jokowi: rakyat harus kerja, kerja, kerja yang rajin (membangun Indonesia), tanpa menyebut berapa yang akan diambil dari segelintir kaum kaya raya yang akan diserahkan pada rakyat (distribusi kekayaan nasional); kesejahteraan dan kebahagiaan kongkrit apa saja yang akan diberikan pada kaum buruh, tani, mahasiswa, perempuan dan rakyat keseluruhan. Berjanji lah dengan kongkrit agar bisa ditagih (atau dijatuhkan kembali).

Abstrak. Apa yang dimaksud kerja dalam arti kata yang baik dan membangun menurut Jokowi? Selama ini, siapa yang paling bekerja keras untuk menghidupi masyarakat tapi tetap sengsara karena yang kaya dibiarkan merajalela mengeruk hasil kerja mereka, hanya menyisakan sejumput saja buat mereka? Jadi, siapa yang harus bekerja lebih keras untuk menyelesaikan distribusi kekayaan nasional? Apa bisa menyejahterahkan dan membahagiakan rakyat tanpa memberikan pembagian yang lebih adil pada rakyat (yang bekerja keras)? Apa bisa menyejahterakan dan membahagiakan rakyat tanpa mengerem, membatasi kerakusan kaum pemodal? Apa ada janji kenaikan pajak buat orang kaya dan para pemodal (dalam negeri dan asing)? Apa ada janji kenaikan upah buruh sesuai dengan penurunan daya belinya (71%)? Apa ada janji kenaikan pendanaan buat perawatan kesehatan dan pendidikan? Apa ada janji menurunkan umur pensiun? Apa ada janji peningkatan bantuan teknologi, modal, harga gabah, dan subsidi harga pupuk buat petani? Dll. Semua itulah yang harus menjadi kerja keras Jokowi.

Kaum perempuan dikasih penghargaan dalam bentuk tumpeng. Cukup? Lalu, program Jokowi untuk kaum perempuan selain memberikan penghargaan tumpeng apa?

30% buruh formal di Indonesia adalah kaum perempuan. Seperti yang telah dikatakan di atas, bila ada KATA (Program) kongkrit, paling tidak kaum perempuan plus rakyat ada acuan (apalagi bila disertai cara mewujudkannya) untuk dianalisa, didukung, dan ditagih–dan bila tidak ditepati, maka sah lah untuk dijatuhkan pemerintahannya. Kenapa janji (KATA) program harus dicurigai sebagai retorika bila memang masuk akal dan akan ditepati–dan itu sudah dibuktikan di banyak negeri (dan yang paling baik adalah bahkan negeri-negeri yang lebih miskin mampu mengungkapkan program kongkritnya, menggalang partisipasi rakyatnya untuk mewujudkannya, dan berhasil). Kaum perempuan yang mendapatkan penghargaan tumpeng itu sedang menyandarkan HARAPAN-nya, dan apakah itu representasi atau cerminan bahwa Jokowi sudah (akan) mengabulkan harapan mereka? Tidak, karena tidak ada jawaban (kata) program kongkrit yang masuk akal dan tidak abstrak. Jokowi justru hanya memberikan kata-kata abstrak (umum) layaknya RETORIKA–KERJA, KERJA DAN KERJA. Tidak ada program kongkrit bagi kaum buruh perempuan yang seharusnya justru upah, jaminan dan kondisi kerjanya harus lebih diperhatikan ketimbang kaum buruh lelaki.

Mereka yang bangga dan antusias apakah mencerminkan: bahwa mereka paham Jokowi sudah memberikan jawaban kongkrit terhadap masalah-masalah-masalah mereka selain “SEMOGA” atau “Sepertinya Jokowi akan bisa mengatasi masalah-masalah mereka”, karena Jokowi tidak memberikan jawaban kongkrit yang masuk di kepala mereka. Coba saja, lain kali tanya: “Ibu buruh perempuan, masalah Ibu apa? Lalu Jokowi akan bagaimana mengatasinya?” atau “Ibu itu ibu rumah tangga, ya? Apa masalah-masalah ibu? Apakah ibu sudah yakin bahwa ibu tidak akan menjadi “parasit”/tergantung lagi pada gaji/suami, artinya pekerjaan ibu sebagai ibu rumah tangga dihargai sebagai produksi (jasa) sosial sehingga ibu juga mendapatkan upah/gaji untuk kerja domestiknya. Dan apakah itu akan dijamin oleh Jokowi?

Mengingatkan, mengawal? Apa yang diingatkan dan dikawal bila tidak jelas program kongkritnya (misalnya bagi kaum perempuan). Sudah cukup masukan yang diberikan pada Jokowi sejak kampanye, dan banyak yang tidak digubris. Itu apa artinya? Itu artinya kekuatan untuk mendesakkan masukan (dari bawah) belum ampuh. Seharusnya kita bukannya mengawal dan mengingatkan tapi menuntut dan mendesakkan program-program kongkrit dari bawah. Dukungan (partisipasi) massa yang banyak iu tidak digunakan oleh Jokowi untuk didorong, dianjurkan agar berorganisasi dari bawah dan berbaris bersama (bukan ke Istana tapi) menuntaskan hambatan-hambatan pembangunan terutama dari sisa-sisa lama yang anti-demokrasi, bejat dan dekaden. Bung Karno: “Aku penyambung lidah rakyat.” ; Chavez: “Rakyat punya lidah sendiri.”

Di negeri ini yang namanya sabar itu tidak sekadar sabar, tapi harus ada sampingannya: pengorbanan. Dan hasilnya: tambah susah atau tidak sebanding dengan kesabaran plus pengorbanannya. Apakah tidak lebih baik bila sabar itu dengan ada pegangan yang akan ditagih, atau ada mekanisme dari bawah (demokrasi yang dijamin oleh Jokowi) untuk memberi masukan dan penggalangan partisipasi langsung rakyat (TERMASUK kaum perempuan)? Saat demokrasi diacak-acak Prabowo-KMP, Jokowi tidak menggunakan dukungan rakyat yang besar itu untuk melawannya. Malah, saat-saat ramainya relawan, elektabilitas Jokowi, yang tadinya 70% lebih malah turun aktual menjadi 53% sekian. Praktis relawan hanya bertahan, alias belum didayagunakan secara maksimal-ampuh dan tepat sasaran–sekadar ngumpul di GBK dan antar Jokowi ke istana. Lalu bagaimana kongkritnya massa yang banyak itu akan diajak berpartisipasi mengawal dan mengingatkan? Apalagi masih ada Prabowo-KMP di parlemen. Atau percaya sudah berdamai?

Tidak kah kita melihat bahwa Klompencapir[*] bukan lah cerminan sejati pemerintahan Suharto? Bahkan pada Jokowi yang BERNIAT BAIK sekalipun, bila tidak di cerminkan dalam janji program kongkrit yang bisa kita analisa–padahal relawan, salah satunya, sudah banyak memberikan masukan.

Catatan:
[*] Klompencapir adalah kunjungan Presiden Suharto dari desa ke desa untuk menanyakan masalah pertani, serupa dengan blusukan Jokowi. Klompencapir bukan lah cerminan pemerintahan Suharto yang sejatinya represif dan kerap menggusur lahan petani.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *