PPMI: Tunda Pengesahan RPP Pengupahan!

0
logo ppmi
Logo PPMI.

Solidaritas.net, Jakarta – Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) menerbitkan pernyataan sikap yang isinya menuntut Presiden Joko Widodo menunda pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengupahan. Hal ini disampaikan dalam pernyataan sikap yang ditandatangani oleh Presiden PPMI Ahmad Fuad Anwar. Menurutnya, pasal-pasal di dalam RPP Pengupahan banyak yang multitafsir dan meringankan sanksi pelanggaran upah yang dilakukan oleh pengusaha. Di samping menuntut penundaan, PPMI juga mendesak agar Presiden Jokowi melakukan konsolidasi seluruh serikat buruh untuk duduk bersama merumuskan peraturan upah yang baru tersebut. Berikut siaran pers lengkapnya:

Pernyataan Sikap DPP PPMI terkait RPP Pengupahan

Upah memegang peranan yang sangat penting dan merupakan suatu ciri khas suatu hubungan kerja dan juga tujuan utama dari sorang pekerja untuk melakukan pekerjaan pada orang lain dan badan hukum ataupun satu perusahaan.

Upah merupakan salah satu hak normatif buruh. Upah yang diterima oleh buruh merupakan bentuk “prestasi” dari pengusaha ketika dari buruh itu sendiri telah memberikan “prestasi” pula kepada Pengusaha yakni suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Karena merupakan hak normatif maka peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pengupahan memuat pula sanksi pidana bagi Pengusaha yang mengabaikan peraturan perundangan terkait dengan masalah pengupahan dan perlindungan upah. Bila hal tersebut terjadi maka tindakan Pengusaha yang demikian ini termasuk dalam tindak pidana kejahatan.

Bab I Pasal 1 angka 30 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menegaskan:
“Upah adalah Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusahaatau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau perturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/jasa yang telah atau akan dilakukan”.

Tujuan pemerintah mengatur upah dan pengupahan pekerja/buruh adalah untuk melindungi pekerja dari kesewenang-wenangan pengusaha dalam pemberian upah. setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. pekerjamenerima upah dari pemberi kerja dan dilindungi undang-undang. Peran pemerintah dalam hal ini adalah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh agar dapat memenuhi kebutuhan hidup layak pekerja maupun keluarganya.

Bahwa rencana pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Pengupahan, setelah dikaji dan didiskusikan secara mendalam dan sungguh-sungguh DPP PPMI berkesimpulan bahwa :

  1. Bahwa dalam RPP tentang Pengupahan pada BAB IV “Perlindungan Upah” Bagian Kesebelas Hak Pekerja/ Buruh atas Keterangan Upah pada Pasal 40 ayat 2 dan 3 menjadi masalah besar yang dihadapi oleh pekerja/buruh selama ini, bahkan dengan dalil tersebut pada ayat 3 pegawai pengawas Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota untuk tidak memberikan Nota Penetapan terhadap pelanggaran upah yang dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh.
  2. Dalam RPP tentang Pengupahan BAB V Upah Minimum Pasal 42 ayat 1 dan ayat 2 menimbulkan multi tafsir sehingga membuka peluang bagi pengusaha untuk tidak membayar upah minimum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Bahwa antara Pasal 43 dan Pasal 44 tidak terjadi sinkronisasi subtansi konsep kebutuhan hidup layak, jika penetapan upah minimum dilakukan setiap tahun berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak sementara dilain pihak Komponen Kebutuahn Hidup Layak dan Jenis Kebutuhan Hidup dilakukan peninjauan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sekali maka tujuan Penetapan Upah Minimum sebagai jaring pengaman tidak akan mungkin tercapai karena kenaikan upah sudah pasti berdasarkan Komponen Kebutuhan Layak dan Jenis Kebutuhan Hidup.
  4. Dalam RPP tentang Pengupahan BAB VIII “Sanksi Administratif” Pasal 59 sampai dengan pasal 68 tidak memberikan efek jerah kepada pengusaha nakal yang sering melakukan pelanggaran upah, saknsi yang diberikan dalam pasal-pasal tersebut dalam bentuk sanksi administrative berupa “teguran tertulis dan tidak mendapatkan pelayanan public tertentu” semakin memberikan peluang kepada pengusaha untuk melakukan pelanggaran upah.
  5. Bahwa dalam RPP tentang Pengupahan yang diajukan pemerintah tidak memasukan pasal sanksi Pidana terhadapa pelanggaran upah yang dilakukan oleh pengusaha, hal ini menimbulkan pertanyaan besar ada apa dan siapa dibalik RPP Pengupahan ini ? Di zaman Orde Baru saja konsep saknsi pidana terhadap pengusaha nakal yang melanggar upah sebagaimana diatur dengan sangat jelas dalam PP 8 Tahun 1981 tentang Pelindungan Upah. Apakah zaman Reformasih lebih dzolim terhadap pekerja/buruh ataukah zaman Orde Lama yang dikatakan oleh banyak pihak sebagai rezim otoriter ?
  6. Bahwa sesuai dengan pengelaman dilapangan masih banyak pengusaha melakukan pelanggaran upah, baik upah minimum, upah lembur, THR dan lainnya.
  7. Bahwa pemerintah dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja dan Dinas Tenaga Kerja Provinsi, maupun Kabupaten/ Kota belum mampu melakukan melakukan perlindungan, pengawasan dan penindakan secara tegas, benar dan adil terhadap penguasaha yang melakukan pelanggaran upah sehingga pekerja/ buruh selalu dikorbankan.
  8. Bahwa secara emperis selama terjadi krisis ekonomi nasib pekerja/buruh yang selalu berkorban untuk kepentingan ekonomi nasional dengan menerima resiko PHK, dirumahkan, dipotong upahnya sementara pengusaha melalui kebijakan pemerintah mendapatkan pake kebijakan ekonomi dan segala fasilitasnya dan kami tidak pernah mendengar penguasaha berkorban untuk kepentingan nasiaonal, bahkan melarikan diri keluar negeri dengan membawah uanganya apabila krisis nasional melanda bangsa Indonesia.
  9. Bahwa pengusaha tidak pernah membagikan keuntungan secara transparat dengan pekerja/buruh apabila ekonomi nasional stabil, produksi meningkat dan perusahaan mendapat laba yang besar. Dimana rasa keadilan dan kesejahteraan, dan kebutuhan hidup layak hubungan industrial yang harmonis antara pengusaha dan pekerja/buruh.
  10. Bahwa regulasi pemerintah yang bersentuhan dengan Ketenagakerjaan selalu merugikan pekerja/buruh sehingga menimbulkan gejolak aski-aksi pekerja/buruh baik ditingkat nasional maupun daerah-daerah, situasi ini menunjukan bahwa pemerintah menjadikan pekerja/buruh sebagai rakyat kelas marginal dibandingkan dengan pengusaha yang selalu mendapat skala prioritas nomor wahid dalam berbangsa dan bernegara, buktinya pemerintah Jokowi-Jusuf Kallah menyiapkan RPP Pengupahan yang tidak berpihak kepada Pekerja/Buruh malahan melindungi Pengusaha dari keadilan dan kebenaran.

Berdasarkan alasan-alasan diatas maka bersama ini DPP PPMI menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Bahwa DPP PPMI mendesak Presiden Republik Indonesia menunda RPP Pengupahan menjadi PP Pengupahan dalam bulan Oktober 2015.
  2. Bahwa DPP PPMI mendesak Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia untuk melakukan konsolidasi dengan Serikat Pekerja/Buruh untuk duduk bersama merumuskan RPP Pengupahan sehingga tidak menimbulkan gejolak dikalangan Pekerja/Buruh dikemudian hari.
  3. Bahwa Presiden Republik Indonesia tetap memaksakan kehendak menerbitka RPP Pengupahan menjadi PP Pengupahan, maka DPP PPMI akan mengerahkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki untuk melakukan aksi nasional mendesak menolak PP Pengupahan yang tidak berpihak kepada kepentingan pekerja/buruh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *