Pendidikan bagi Kaum Buruh

0

(Fadh Ahmad Arifan*)

Bertepatan dengan tanggal 1 Mei, hari bersejarah ini diperingati sebagai hari libur nasional yang dikhususkan untuk kaum Buruh. Sebelum disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai hari libur nasional, Rezim Orde Baru pernah melarang peringatan Hari Buruh 1 Mei, dan menggantinya dengan Hari Pekerja Nasional setiap 20 Februari, merujuk pada hari lahir Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) pada 20 Februari 1973 (Wenri wanhar, Riuh-rendah hari buruh, dalam www.historia.id).

buruh bukan budak
Foto ilustrasi. Sumber: medanbagus.com.

Meski telah ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh tapi nyatanya tak menyurutkan kaum buruh dalam menggelar aksi pawai dan demonstrasi besar-besaran. Tiap kali kaum buruh menggelar demonstrasi, mereka menyuarakan tuntutan seperti: penghapusan sistem outsourcing, perbaikan upah/gaji sesuai UMR hingga memperjuangkan wajib belajar 12 tahun dan beasiswa untuk anak pekerja sampai perguruan tinggi.

Kita perlu mendukung perjuangan kaum buruh khususnya dalam bidang pendidikan. Pendidikan hari ini merupakan solusi jitu untuk memperbaiki kualitas SDM bangsa, akan tetapi kian hari biayanya makin mahal. Seperti membenarkan istilah yang dipopulerkan oleh penulis Eko Prasetyo, “Orang miskin dilarang Sekolah”.

Masih terkait pendidikan bagi kaum buruh. Jika ribuan buruh-buruh diluar sana berjuang melalui demonstrasi, maka seorang ibu bernama Masyudi melakukan aksi nyata dalam mengatasi tingginya biaya pendidikan. Berawal dari beliau yang mengurungkan niatnya mendaftarkan anak-anaknya ke sebuah Taman kanak-kanak (TK). Sebabnya karena biaya masuk plus SPP TK dekat rumahnya menyentuh angka 1 juta rupiah. Otomatis bagi beliau yang bersuamikan seorang buruh pabrik, biaya sebesar itu amat memberatkan. Perlu diketahui, sebuah keluarga Buruh dihadapkan dua pilihan, antara memenuhi kebutuhan makan-minum dan impian meraih pendidikan yang layak.

Mau bagaimana lagi, biaya TK di kota metropolitan rata-rata seperti itu. Ambil contoh, di Jakarta, ada sebuah TK elit yang tersandung kasus kejahatan seksual. SPP bulanannya bisa di atas 5 juta rupiah. Sayangnya, sekolah mahal belum tentu berkualitas dan menjamin rasa aman terhadap anak didiknya.

Belajar dari peristiwa tersebut, ibu Masyudi memutuskan membangun Taman Kanak-kanaknya sendiri. Pendaftaran untuk masuk TK hanya dipungut seribu rupiah. Beliau mengajak tetangga-tetangganya mengajar secara sukarela. Tempat belajar dan mengajar awalnya menggunakan aula kelurahan. Kebanyakan murid-murid di TK yang didirikan ibu <asyudi berasal dari keluarga kaum buruh. Setelah 4 tahunan mengembangkan TK, kini ibu Masyudi telah memiliki 3 buah TK dengan jumlah 700 murid (NET 10 tgl 21 April 2015 pk 10.45 wib).

Apa yang diperjuangkan seorang ibu Masyudi yang hanya lulusan SMA ini patut kita tiru. Demonstrasi, pawai maupun berorasi kepada pemerintah tidak cukup. Perlu aksi nyata yang manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh kaum buruh lainnya. Selain cara yang dilakukan ibu Masyudi, kaum buruh harus masuk ke kancah politik dan merebut jabatan Menteri Pendidikan. Dengan begini, masalah pendidikan mahal dapat dienyahkan selamanya.

Satu hal lagi sebelum menutup artikel ini, Pemerintah Indonesia hingga kini belum bisa seperti pemerintah Venezuela dalam memenuhi tuntutan kaum buruh. Seperti yang ditulis dalam status Facebook Danial indrakusuma (22 November 2013), di negara kaya minyak itu, kaum buruh berhasil memperoleh pendidikan gratis sampai level perguruan tinggi. Anak-anak usia sekolah dasar dan menengah, mendapatkan laptop kualitas tinggi merek Canaimas, buatan Venezuela dan itu semua gratis. Tujuannya supaya rakyat Venezuela tidak gagap teknologi. Wallahu’allam bishowab.

* Pendidik di MA Muhammadiyah 2, kota Malang, Jawa timur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *