Menanti Pidato Presiden di Hari Buruh

1

(Jafar Suryomenggolo*)

Sejak tahun 2014, tanggal 1 Mei dinyatakan sebagai hari libur resmi. Tahun 2015 ini menjadi pertama kalinya hari buruh dirayakan pada masa presiden Jokowi. Bagaimana hari buruh internasional ini akan dirayakan? Apakah presiden Jokowi akan blusukan ke pabrik-pabrik sembari mendapati berbagai pelanggaran hukum perburuhan? Mungkinkah juga beliau akan (dan mau?) berkunjung ke pemukiman buruh di kawasan industri? Jikalau beliau sibuk hari itu, mungkinkah sekedar pidato disampaikan dalam menyambut hari buruh internasional tahun ini?

sukarno pidato may day 1965
Kata sambutan Sukarno dalam parade buruh di Istora Bung Karno, 1965. © Bettmann/CORBIS

Kiranya, menanti pidato presiden di hari buruh bukanlah harapan yang berlebihan. Ini bukan soal menagih janji-janji kampanye – apapun isi kata-kata yang pernah disampaikannya dulu. Ataupun, menuntut keberpihakan presiden atas perjuangan kaum buruh selama ini. Bukan pula untuk memaksa presiden turun-tangan langsung mengurus persoalan perburuhan – sekalipun apabila hal ini terjadi (dan kita sah juga berharap demikian!) tentu saja masalah yang penting.

Harapan ini didasarkan dari pengalaman sejarah. Selama masa rejim Orde Ba(r)u, tidak pernah sekalipun Suharto memberikan pidato kenegaraan tentang perburuhan. Oleh rejim otoriter Suharto, buruh diperlakukan sebagai anak-tiri pembangunan ekonomi. Buruh diperas tenaganya tanpa pernah menerima upah yang layak – dan juga, tidak diakui untuk menikmati apa yang disebutnya sebagai “hasil-hasil pembangunan.”

Di masa Reformasi sekarang ini, dalam kurun waktu 17 tahun dengan 5 presiden, tidak ada satupun pidato kenegaraan tentang perburuhan. Sekalipun SBY mengesahkan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional, tidak ada pidato kenegaraan dari beliau. Yang ada hanyalah kata sambutan belaka.

Kondisi ini berbeda dari zaman Sukarno. Dua kali Sukarno menyampaikan pidato pada hari buruh 1 Mei: di tahun 1946 dan 1962. Tahun 1946 adalah perayaan 1 Mei pertama kali di dalam alam kemerdekaan. Saat itu, perayaan berlangsung di Yogyakarta sebagai ibukota negara. Sementara di tahun 1962, peringatan 1 Mei berlangsung di Istana Negara, Jakarta.

1 May di Alun-Alun YogyakartaPada perayaan 1 Mei 1946, Sukarno hadir bersama Hatta, Sultan Hamengkubuwono IX, dan Amir Sjarifuddin yang saat itu adalah Menteri Pertahanan. Hadirnya Sukarno di dalam acara itu punya arti penting. Hal ini karena kaum buruh dianggap sebagai salah satu penyokong kemerdekaan. Terlebih, saat itu kaum buruh menguasai wilayah perkebunan, perkereta-apian dan beberapa pabrik industri utama. Kaum buruh mampu secara mandiri menjalankan operasional perkebunan, jalur kereta-api dan juga, produksi pabrik – tanpa perintah ataupun komando dari pihak pemerintah. Karena itu pula, pemerintah berupaya merangkul kaum buruh.

Di samping itu, acara perayaan 1 Mei saat itu cukup beragam di beberapa daerah. Di Yogyakarta sendiri, juga diselenggarakan pameran seni lukis perjuangan, khususnya perjuangan daerah Bandung. Lokasi pameran di gedung Komite Nasional Indonesia, Jalan Malioboro, dan dihadiri oleh presiden, wakil presiden, panglima besar, dan sejumlah menteri.

Di dalam acara peringatan 1 Mei 1962, Sukarno menyampaikan pidato yang cukup panjang. Di bagian awal pidato, Sukarno dengan jelas menyatakan bahwa:

“Perajaan hari internasional buruh 1 Mei bukanlah perajaan Komunis, tetapi perajaan oleh seluruh kaum buruh internasional. … Ja, untuk merajakan kemenangan ini, bahwa kaum buruh dapat mentjapai djam kerdja satu hari 10 djam, jang tadinja sampai 18-19 djam sebagai hasil daripada perdjuangan kaum buruh jang bersatu, bahkan sebagai hasil daripada perdjuangan kaum buruh internasional, maka ditetapkan 1 Mei sebagai satu hari internasional.”

Pernyataan demikian kiranya untuk menegaskan arti pentingnya perayaan hari buruh. Bahwa perjuangan kaum buruh membawa hasil yang dinikmati oleh masyarakat luas. Hal ini penting karena pada saat itu terdapat polarisasi politik di dalam masyarakat. Beberapa pihak yang anti-perjuangan buruh menganggap persoalan buruh bukanlah persoalan masyarakat. Pula, menyamakan perjuangan buruh semata-mata sebagai propaganda komunis.

Isi pidato Sukarno pada saat itu secara umum sesungguhnya mengedepankan soal Operasi Tri Komando Rakjat (Trikora), yaitu “merebut Irian Barat”. Operasi ini dimulai di akhir tahun 1961, dan di bulan Januari 1962 terjadi pertempuran di Laut Aru, yang menjadi pematik puncak operasi. Oleh karena itu pula, hingga pertengahan 1962 retorika politik yang ada pada masa itu mendorong perjuangan buruh ke arah “persatuan revolusioner” di dalam konteks Trikora. Kaum buruh dianggap penting untuk ikut serta di dalamnya.

Bagaimana pidato Sukarno itu dapat dipahami? Bagi kita yang sekarang ini membaca isi teks pidato Sukarno tentu punya pemahaman yang berbeda dari mereka yang sempat mendengar langsung. Pengalaman mendengarkan langsung punya efek dramatis. Seperti yang dicatat oleh George Kahin, seorang ahli Indonesia, bahwa isi pidato Sukarno mampu:

“memberi pendengarnya perasaan bahwa mereka adalah bagian dari upaya membentuk sejarah yang ditakdirkan berhasil. Seolah dia adalah jantung yang memompa oksigen ke dalam dan menghidupkan tubuh politik Indonesia.”

Dari cuplikan sejarah ini, dapat kita lihat bahwa kaum buruh di mata Sukarno dianggap punya nilai penting di dalam susunan masyarakat. Kaum buruh tidak semata-mata bekerja di dalam sekat-sekat lingkungan kerjanya belaka (entah itu di pabrik atau perkebunan, atau lainnya). Melainkan juga, punya kemampuan dan tugas sosial sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu, apa yang terjadi di masa Orde Ba(r)u telah membuat kerdil kemampuan dan tugas sosial kaum buruh. Kaum buruh dijadikan semata-mata komoditas ekonomi di dalam pembangunan. Apakah di era Reformasi masih demikian adanya?

Dengan demikian, harapan menanti pidato presiden di hari buruh bukanlah soal menagih janji, ataupun menuntut keberpihakan presiden. Harapan ini berpijak pada fakta sejarah. Yaitu, bahwa kaum buruh Indonesia punya kemampuan dan tugas sosial yang tidak dapat dibikin kerdil ataupun disepelekan begitu saja. Untuk itu pula, kaum buruh mesti mengasah terus kemampuannya, dan mempertajam tugas sosialnya. Tentunya, secara mandiri dan tidak sepotong-sepotong.

* Penulis ada pemerhati dan peneliti perburuhan.
Sumber rujukan:
Kahin, George. Southeast Asia: a testament. London: Routledge, 2003.

Pidato 1 Mei Presiden Sukarno: diutjapkan pada tanggal 1 Mei di Istana Negara. Jakarta: Dewan Nasional SOBSI, 1962.

One Comment

  1. Kritikan ini sangat patut untuk dicermati dan di perhatikan oleh pemerintah, khususnya bagi Presiden RI Bpk Jokowi dan juga para menteri serta pengusaha-pengusaha yang menjadi makmur dan berlimpah kekayaan dikarnakan kerja keras dan peras keringan para kaum buruh. Sebab kerja keras para buruh pemerintah menerima pendapatan untuk membangun negara dan jika kita mau jujur tak akan cukup gedung arsip nasional untuk mengumpulkan catatan jasa para buruh Indonesia. Ingatkah saudara berapa banyak para buruh mengorbankan nyawanya untuk membangun jalan kereta dari anyar sampai panarukan…, sekarang siapa yang paling menikmati dan paling banyak mengumpulkan harta dari pengorbanan para buruh tersebut…….. apa merek para ahli waris buruh…? bukan…, bukan…, itu orang2 yang duduk di kursi empuk yang telah mengumbar janji kepada para ahli waris buruh-buruh…..

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *