Lawan Kerja Kontrak, Buruh PT Nanbu Plastic Dilaporkan ke Polisi

0
Bekasi – Dalam menggunakan tenaga kerja buruh kontrak, diketahui PT Nanbu Plastic Indonesia dinilai telah melakukan pelanggaran dalam penempatan buruh kontrak di bagian inti produksi. Berdasarkan hal itu, pengurus serikat di PT Nanbu berusaha untuk melaporkan kasus ini ke dinas tenaga kerja Kabupaten Bekasi. 
Mengawal kasus kriminalisasi Saiful (Foto: Mujiyo)

Namun, dalam proses penyelidikan, perusahaan mengeluarkan seorang buruh kontrak perempuan berinisial Kartini dari dalam pabrik dengan alasan telah habis masa kontrak. Buruh itu menolak dengan alasan kasus sedang dalam proses perselisihan. 

Ketua Serikat Bumi Manusia (SEBUMI) di PT Nanbu menuliskan kejadian tersebut dalam status Facebooknya. Perusahaan melaporkan status Saiful ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik menggunakan UU ITE pasal 27 ayat (3) dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara. 

“Kartini, ya Kartini bagian QC PT. Nanbu, telah diusir secara paksa oleh orang-orang yang dibutakan hatinya, Ia hanya menuntut apa yang tertuang di Undang-Undang, Ia tetap tegar dan tetap akan melawan akankah kalian diam wahai buruh Nanbu atas ketidak adilan ini? apakah kalian sudah tinggal di surga yang didalamnya tidak ada anak yatim, bahkan pengemis yang mengusik. Bukankah kalian pernah merasakannya? Aku tunggu aksi-aksi kalian, besok ada solidaritas ke PT Hitech untuk pembebasan buruh kontrak, Aku turut serta kalian bagaimana?”

Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (SEDAR) berposisi tidak ada unsur pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam UU ITE Pasal 27 ayat (3). Status tersebut hanyalah ajakan untuk peduli terhadap sesama buruh.  Melaporkan buruh ke polisi dinilai sebagai upaya kriminalisasi dan upaya pengusaha untuk menyingkirkan keduanya dari perusahaan. 
Pelanggaran sistem kontrak (PKWT) itu terkait syarat penerapan PKWT di pasal 59 ayat (1) dan (2). Ketentuan di pasal 59 ayat (1) menyatakan bahwa jenis pekerjaan yang boleh diterapkan PKWT adalah untuk jenis pekerjaan musiman, pekerjaan sementara, pekerjaan yang selesai dalam waktu 3 tahun dan pekerjaan untuk produk baru.

“Mayoritas buruh kontrak belum berani melawan, apalagi ditambah upah di Nanbu itu besar, setelah diperjuangkan serikat buruh. Juga lembur nya gila-gilaan di Nanbu, operator saja dalam 1 bulan bisa dapat upah 9-15 juta,” terangnya kepada Solidaritas.net, Kamis (31/3/2016)

Upah buruh di perusahaan yang memproduksi komponen otomotif ini memang terbilang tinggi. Paling rendah, untuk level operator di bawah 1 tahun, upahnya sebesar Rp3,65 juta, di atas 2 tahun minimal Rp4,1 juta. Sementara itu, buruh-buruh yang lembur, khususnya bagian operator, bisa memperoleh upah sebesar Rp 9-15 juta per bulan dengan lama lembur mencapai 500 jam setiap bulannya.

Sejak PT Nanbu berdiri, tahun 2010, buruh kontrak dipekerjakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Sebanyak 60 persen buruh PT Nanbu adalah buruh kontrak, namun dari jumlah tersebut, mayoritas belum berani melakukan perlawanan.

Andri sangat menyayangkan UU 13/2003 yang tidak mengatur sanksi bagi pengusaha yang melanggar ketentuan pasal 59. Sehingga, menurutnya, jalan untuk memenangkan kasus ini harus melalui jalur non-litigasi, lebih konkrit lagi aksi massa.
Sejauh ini, pelanggaran PT Nanbu sudah dilaporkan ke pengawas Ketenagakerjaan Bekasi, Ombudsman Bandung. Mereka juga bekerjasama dengan beberapa LSM yang konsen di persoalan kriminalisasi, seperti Safenet, ICT Watch, Elsam dan LBH Pers.

“Selain memberikan pendampingan saat pemeriksaan di kantor Polres Kabupaten Bekasi, kami juga melayangkan protes ke Nanbu Plastics Co,Ltd di Jepang sebagai induk perusahaan PT Nanbu Plastics Indonesia,” kata Andri

Surat protes juga dilayangkan ke Kedubes Jepang di Indonesia dan tiga customer PT Nanbu Plastics Indonesia, yaitu Yazaki, Nisshinbo dan NIKON. (En)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *