Hak Buruh Perempuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan

0

Solidaritas.net – Tenaga kerja perempuan, termasuk kaum buruh memiliki hak-hak khusus sesuai dengan fungsi reproduksinya, yang telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di antara hak-hak buruh perempuan tersebut adalah hak cuti melahirkan, hak cuti haid, dan hak menyusui. Namun, saat ini masih banyak perusahaan yang tidak memberikan hak-hak buruh perempuan itu. Padahal, mengenai hal ini seharusnya juga diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Foto ilustrasi. Sumber: Yahya Qawasmi. USAID. (CC0)

Dijelaskan dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, bahwa pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Waktu istirahat ini adalah hak cuti hamil dan cuti melahirkan bagi para buruh perempuan. Tidak hanya itu, buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan juga berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Selanjutnya dijelaskan pula dalam Pasal 84 Undang-Undang Ketenagakerjaan, setiap buruh juga tetap berhak mendapat upah penuh selama menjalankan cuti, termasuk cuti hamil dan melahirkan bagi para buruh perempuan. Kemudian, pada Pasal 185 peraturan yang sama disebutkan pula bahwa bagi pengusaha yang melanggar ketentuan dalam Pasal 82 tersebut, maka akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun, dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400 juta.

Selain itu, buruh perempuan juga berhak atas cuti haid. Dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Pelaksanaan ketentuan itu sendiri harus diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB. Pengusaha juga wajib membayar upah buruh yang menjalani cuti haid, sesuai Pasal 93 ayat (2) huruf b peraturan tersebut.

Setelah melahirkan, para buruh perempuan juga berhak untuk menyusui anaknya, terutama pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif selama 6 (enam) bulan sesuai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 128 ayat (1). Perlindungan hukum bagi buruh yang menyusui anaknya diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang Ketenagakerjaan, bahwa pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

Bahkan, berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Pasal 128 ayat (2), selama pemberian ASI, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus. Kemudian, ayat (3) menyebut penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum. Jika ada pihak yang melanggar Pasal 128 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan itu, maka akan dikenai sanksi berdasarkan Pasal 200 peraturan tersebut, yakni pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.

Sedangkan sanksi bagi korporasi yang menghalangi pemberian ASI eksklusif ini terdapat dalam Pasal 201 Undang-Undang Kesehatan, yang menyebutkan bahwa selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, juga dapat dijatuhkan pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali terhadap perusahaannya. Selain itu, perusahaan juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha, dan/atau pencabutan status badan hukum. Ditambahkan, Pasal 153 ayat (1) huruf e Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.

Dalam praktiknya, seringkali buruh perempuan menghadapi pelarangan hamil secara tidak resmi di perusahaan-perusahaan. Pelarangan tersebut seringkali berbentuk lisan berupa pertanyaan, “ada rencana hamil?”; “sudah menikah?”; “sudah punya anak?” dan sebagainya dalam wawancara kerja. Tentu saja, si buruh perempuan sudah tahu ke mana arah pembicaraan macam begini dan menjawab sesuai keinginan perusahaan. Jika buruh perempuan kedapatan hamil, hubungan kerja bisa diputus atau penilaian kinerja menjadi jelek. Yang paling merasakan, tentu adalah buruh perempuan berstatus kontrak karena kontrak kerjanya dapat berakhir sewaktu-waktu ataupun tidak diperpanjang lagi masa kontraknya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *