Buruh Tani Dibui 2 Tahun dan Denda Rp 2 Miliar Gara-Gara Mangrove

0

Solidaritas.net – Tidak salah jika banyak rakyat yang menyebut hukum di Indonesia “tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Banyak masyarakat biasa dan orang miskin yang terjerat hukum dengan vonis hukuman yang berat hanya karena masalah yang tidak terlalu besar. Sedang para pejabat dan pengusaha kaya bisa lolos dengan mudah dari hukuman meskipun telah melakukan “dosa-dosa” besar, hanya karena mereka memiliki banyak uang dan kekuasaan.

dapur rumah busrin
Kondisi dapur rumah Busrin yang sangat memprihatinkan. © Detik.com.

Baru-baru ini, kasus hukum yang “tajam ke bawah” itu pun terulang kembali. Seorang buruh miskin di Probolinggo, Jawa Timur, Busrin (48), terpaksa harus mendekam di penjara selama 2 tahun, dan membayar denda sebesar Rp. 2 miliar atau kurungan 3 bulan penjara tambahan. Penyebabnya hanya karena dia menebang pohon mangrove (bakau) yang digunakannya sebagai kayu bakar untuk dapur rumahnya.

“Kayunya akan dipakai untuk kayu bakar,” jelas Busrin seperti tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri Probolinggo 179/Pid.B/2014/PN.PBL Tahun 2014 dilansir website Mahkamah Agung.

Dengan menggunakan sabit, pria bernama asli Karyo bin Mistiah ini menebang pohon yang berada di kampungnya di Desa Pesisir, Kecamatan Sumberasih, Probolinggo itu, pada 16 Juli 2014 lalu. Kemudian, dia mengumpulkan kayu-kayu mangrove itu di pinggir parit. Namun, hal tersebut diketahui oleh dua anggota Polisi Air Polres Probolinggo, yaitu Bambang Budi Antoni dan Avian Riyadi.

Pria yang tidak lulus SD itu pun digelandang ke kantor Polres dan diproses secara hukum. Kemudian jaksa menuntutnya dengan hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp. 2 miliar, karena dengan sengaja telah merusak ekosistem. Majelis hakim yang terdiri atas Putu Agus Wiranata, Maria Anita dan Hapsari Retno Widowulan pun mengabulkan tuntutan tersebut.

Meski Busrin sempat menyatakan pledoi menyesal dan berjanji tidak akan mengulanginya, serta mengakui perbuatannya itu, namun jaksa tetap bersikukuh dengan tuntutannya. Dia pun akhirnya dinyatakan melanggar Pasal 35 huruf e, f dan g Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Terkecil, junto Pasal 73.

Menanggapi peristiwa ini, penggiat lingkungan ini Slamet Daroyni menilai hukuman tersebut sangat tidak adil dan tidak berperikemanusiaan. Menurutnya, majelis hakim hanya melihat permasalahan itu sebagian saja. Padahal, kasus tersebut terjadi karena kebijakan alih fungsi hutan yang dilegalkan pemerintah, sehingga mata pencaharian rakyat jadi berkurang.

“Ironis! Meski hal tersebut melanggar hukum, harusnya hakim lebih bijak dalam memutus perkara. Tidak adil! Tidak ada rasa keadilan di sini. Hakim hanya melihat sepotong kisah, yaitu ada laporan, ada yang menebang, lalu dihukum. Padahal mereka korban dari kebijakan,” ungkap aktivis penggiat Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) itu, dilansir dari Detik.com.

Rasa ketidakadilan terlihat jika dibandingkan dengan kasus PT SU dan PT Sarana Perdana Indoglobal (SPI) yang merusak ratusan hektar hutan lindung. Kedua perusahaan itu mengeksplorasi kawasan pesisir di Desa Simpang Pesak, Kecamatan Dendang, Kabupaten Belitung Timur, Bangka Belitung, yang merupakan hutan suaka alam, menjadi lokasi penambangan sejak dekade tahun 2000.

Meski kedua perusahaan tersebut akhirnya dinyatakan bersalah, namun Menteri Lingkungan Hidup hanya menggugatnya secara perdata sebesar Rp 32 miliar. Bahkan, Mahkamah Agung sempat mengeluarkan kasasi untuk menganulir putusan hukumannya pada 2012, sebelum akhirnya mereka kembali diputuskan bersalah dalam PK pada 23 Mei 2014 lalu. Tidak salah jika orang menyebut hukum di Indonesia memang “tajam ke atas, tumpul ke bawah”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *