Awas! Bahaya Militerisme di Dalam Kampus

11

Oleh: Mirza Asahan*)

Pasca reformasi, mahasiswa terbebas dari belenggu militerisme yang dahulu bersandar pada Resimen Mahasiswa (Menwa). Dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri, yakni Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: KEP/11/X11/1994, Nomor : 0342/U/1994, Nomor: 149 Tahun 1994 dinyatakan tidak berlaku. Reformasi berjasa terhadap penghapusan militerisme di dalam kampus yang mendorong Menwa hanya menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di bawa pengawasan kampus.

Kebijakan militerisme yang berhasil dihapuskan di dalam kampus, hasil dari perjuangan mahasiswa dan rakyat menggulingkan Soeharto, kini pelan-pelan mulai di kembalikan. Seperti berita yang dilansir Merdeka.com memuat keterangan dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan) mengatakan bahwa di tahun 2015 Menwa akan diaktifkan kembali dibawah komando lansung Tentara, dan mendapat payung hukum dari negara yang berarti: mendapat subsidi lansung untuk kegiatan dan programnya, serta mendapat latihan khusus oleh seluruh kesatuan Tentara Indonesia. [1]

Berikut alasan Kemenhan mengaktifkan kembali Menwa:

  • “Banyak sekali adik-adik menwa kita, mereka sebagai pelajar dan semangat juang yang tinggi harus kita bina terus karena masyarakat kita jauh dari nilai-nilai bela negara sekarang ini. Menwa akan menjadi kader bela negara kita,” kata Faisal di Kemenhan, Jakarta, Selasa (9/12).
  • “Mereka kan juga binaan dari kodam-kodam. Lepas kontrol dari TNI sehingga bisa terjadi perselisihan antar-lainnya. Oleh karena itu kembalinya dalam binaan kita bisa lebih baik lagi,” katanya.
  • Lanjutnya, saat ini kondisi Menwa di dalam kampus sangat memperihatinkan lantaran masuk bagian unit kegiatan mahasiswa. Oleh sebab itu, pihak bakal aktifkan kembali Menwa di setiap kampus pada tahun depan.
  • “Bisa lagi, yang sekarang ada kan kasihan mereka bagian dari UKM. Kegiatan mereka itu tidak ada program dukungan anggaran yang mencukupi,” jelasnya.

Negara mana yang dibela? Pembelaan seperti apa yang dibutuhkan negara? Kalau kita boleh jujur, hanya minoritas kecil yang terlibat Menwa. Ketidakterlibatan mahasiswa di Menwa bukan berarti mahasiswa tidak ingin membela negara, namun melihat Menwa sebagai UKM yang tidak mempunya manfaat apapun, kecuali arogansi yang berlagak menjadi aparat negara. Mahasiswa dan rakyat hari ini antipati terhadap pemerintah, karena kebijakan negara yang telah menyelewengkan makna dari cita-cita Revolusi 1945. Dengan gampang rakyat dapat melihat petani berduyun-duyun dipaksa dari rumah dan tanahnya, buruh diupah murah, mahasiswa harus membayar mahal mengecap pendidikan, Pedagang Kaki Lima (PKL) digusur, harga Bahan Bakar Minya (BBM) dan Tarif Dasar Listrik (TDL) dinaikkan. Lalu negara mana yang ingin dibela? Negara yang menindas rakyat?

Dalam keadaan negara yang menindas rakyat, Menwa hanyalah akan menjadi perpanjangan tangan tentara untuk menindas gerakan mahasiswa di dalam kampus. Militer hanya ingin mengantisipasi gerakan mahasiswa karena gerakan ini yang paling aktif menolak kenaikan harga BBM, mengkritisi kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat dan berwatak anti militerisme.

Jika kita lihat kedudukan Menwa di kampus tentu tak sama seperti apa yang dikatakan Kemenhan. Menwa dibawa komando rektorat mendapat fasilitas yang cukup baik sebagai bagian dari UKM. Bahkan, Menwa menjadi elemen yang selalu mendukung kebijakan rektorat dan masih kerap dilatih oleh tentara.

Tetapi keblingeran Kemenhan sudah terlampau jauh. Mahasiswa tidak membutuhkan baris-berbaris dengan baju seragam atau seperangkat peralatan semi-militer. Lebih baik dana yang akan digelontorkan ke Menwa digunakan untuk membangun perpustakaan dengan buku yang lengkap dan bermutu, membangun sekolah-sekolah, membangun laboratorium dan berbagai sarana pendidikan yang lain, serta menggratiskan pendidikan.

Kenapa kita harus menolak Menwa?

Yang harus disadari terlebih dahulu adalah keberadaan Menwa yang didirikan oleh Jendral Besar A.H.Nasution pada tahun 1959 dengan Keputusan Panglima III/Siliwangi No 40-25/S/1959, yakni diselenggarakan wajib latihan bagi mahasiswa perguruan tinggi di Bandung. Kebijakan ini terus diperluas hingga ke seluruh kampus pada masa Orde Baru.

Tentu kita tidak ingin kembali dibawa ke zaman Orde Baru, dimana mahasiswa di kampus-kampus harus bersembunyi berbicara kebenaran, harus mengemban ketakutan saat menyebar-luaskan gagasan. Jika Menwa kembali mendapati latihan khusus dari tentara, dan subisidi dana besar dari Negara, itu artinya Orde Baru akan kembali di dunia kampus. Saat ini Menwa yang berada di bawa kampus juga sudah sepatutnya dibubarkan, sebab dalam kegiatan intelektual di dalam kampus tentu Menwa tidak diperlukan sama sekali.

Kita menolak Menwa bukan berarti anti terhadap kedisiplinan, tentu mahasiswa membutuhkan kedisplinan, namun kedisiplinan yang berada di dalam Menwa dengan ancaman hukuman fisik dan bentakan suara kasar tidak dibutuhkan pula oleh mahasiswa untuk membangun kedisiplinan di dalam dirinya. Kedisplinan yang diperlukan mahasiswa harus datang dari pikirannya yang jernih, dan gagasan-gasan teori yang berpihak pada rakyat, pertarungan-pertarungan ide yang demokratis dapat membentuk kedisplinan mahasiswa dalam belajar, menyelesaikan kuliah (tugas moral pada orang tua), menulis untuk rakyat, agar dapat setia pada kebenaran, dan kokoh memperjuangkan tanggung jawab sosialnya terhadap rakyat, bukan komando yang datang dari Tentara.

Watak militerisme yang kembali disuntikkan di dalam kampus dengan massif melalui Menwa akan menjadi bumerang bagi gerakan mahasiswa yang pro-demokrasi. Menwa dapat mengawasi kegiatan-kegiatan mahasiswa, mahasiswa tidak lagi bebas menyatakan pendapatnya. Sejarah telah menjelaskan: militerisme dengan segala upaya tentu akan membendung pandangan kritis berkembang dikampus dengan kekerasan maupun mekanisme administrasi kampus.

Pemerintahan saat ini, yang katanya ingin membangun “Revolusi Mental”, ternyata malah mengeluarkan kebijakan yang dapat menghancurkan mental mahasiswa, dengan menyuntikkan pandangan yang menghalalkan segala cara kekerasan demi membela negara yang menindas rakyatnya sendiri. Sudah seharusnya protes-protes penolakan terhadap kebijakan Kemenhan ini, dilancarkan di kampus-kampus. Jika gerakan mahasiswa terlambat, dalam waktu tertentu gerakan mahasiswa yang akan disapu bersih oleh kelompok semi-militer, antek Tentara.

*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Rujukan:

[1] http://www.merdeka.com/peristiwa/kemenhan-hidupkan-lagi-resimen-mahasiswa-pada-2015.html.

11 Comments

  1. pertama saya ingin katakan: pasukuan jerman, tidak lagi membela hitler, sebabnya hitler tewas membawa sebagian besar pengikutnya, dan ideologi fasis di tinggalkan rakyat jerman. lantas apa alasan tentara jerman untuk mengikuti ideologi hitler yang fasis?

    amerika negeri imprealis ya wajar saja memiliki persenjataan yang kuat, kamu tidak hilat atau perlu aku lihatkan, negara-negara dunia ketiga menjadi korban keganasaanya? dengan alasan" kemanusiaan" ekspansi militer ke mana-mana.

    di indonesia sisa-sisa orde baru belum lah lenyap, bahaya milieterisme masih mengancam, peristiwa yang baru terjadi di papua, pembubaran film senyap, apa itu bukan bukti militerisme masih nyata di indonesia?

    kami menyerang memwa bukan untuk menghadang orang berorganisasi, kami menghadang memwa bukan anti terhadap individu di dalamnya, namun kami anti dengan watak militerisme yang hari ini saja masih ada di tubuh memwa. memwa bisa menjadi mata-mata di dalam kampus, seperti apa yg terjadi di zaman orde baru. http://solidaritas.net/2014/12/menwa-kembali-bangkit-mahasiswa-harus-bergerak.html

    membela negara seperti apa yg kamu maksud?? amerika, inggri tidak akan mungkin menyerang indonesia selama negeri masih dikuasai boneka-bonekanya,

    NKRI Harga mata, atau Rakyat papua mati di tanah sendiri?

    Reply
    • Menwa dari dulu juga terpisah dari pemerintah, jadi gak ada kaitannya dgn mata2. Pemikiran yg tidak berdasar. Menwa itu tidak di gaji. Yg ikut menwa hanya karena ingin berpartisipasi bela negara saja.
      Kalau di searching, partisipasi menwa itu banyak juga keterlibatannya. Mulai dari pasukan perdamaian, sampai keterlibatan di Timor Timur.
      Menwa juga mahasiswa. Sama dgn mahasiswa2 lainnya.

      Reply
  2. Menarik ketika Bung Mirza menulis "Menwa dapat mengawasi kegiatan-kegiatan mahasiswa, mahasiswa tidak lagi bebas menyatakan pendapatnya", apakah hal tersebut juga didasari pengalaman pribadi?

    Menurut saya, bukankah kampus tempat semua disiplin ilmu bisa berkembang baik secara teori maupun aplikasi, baik ekonomi, sosial, budaya, agama, hankam, dll selama tidak melanggar peraturan yang ada.
    Bahkan beberapa waktu lalu, kampus UGM juga memprotes keras (termasuk saya mengecam) aparat keamanan yang terkesan membiarkan ketika pemutaran film Senyap terpaksa harus dihentikan di Fisipol karena ancaman ormas agama dengan dalih bahwa menyebarkan paham komunis. Padahal sejatinya pemutaran tersebut benar-benar ditujukan sebagai ajang diskusi dan bedah film.

    -Dwi Rendy, eks civitas akademik UGM-

    Reply
  3. Bagaimana dengan negara lain??? Di kampus Filipina ada ROTC (reserved officer training corps) phillipine. Di setiap kampus Malaysia ada PALAPES (pasukan latihan pegawai simpanan). Toh, di negara mereka yang sekarang sudah meningkat kesejahteraannya melakukan kegiatan tersebut. Sudah banyak alumni menwa yang sekarang ini dapat dibanggakan salah satunya mantan menteri ekonomi dan ketua pelaksana bank dunia Sri Mulyani. Harusnya yang dikoreksi adalah anda penulis dari artikel ini. Jangan menulis artikel yang memberi acuan negatif!!! Pemerintah membuat menwa bukan untuk kembali masa zaman orde baru. Tetapi Pemerintah membentuk menwa untuk mencari bibit pemuda yang lebih unggul lagi. Kenapa?? Karena sudah banyak mahasiswa berani atau pintar bercakap di depan tetapi dalam mempraktikkan diri ternyata yang ia lakukan hanya berani di belakang temannya. Bagaimana kita bisa bersaing secara MEA kalau mahasiswanya seperti itu????

    Reply
  4. Anak Menwa kini humanis Bung! Kalau Menwa dibilang antek tentara, apa yang melawan menwa mau disebut antek radikalis dan komunis? Aturan semi militer hanya diterapkan di internal anggotanya saja bung, tidak berlaku ke semua mahasiswa di kampus kami UIN Jakarta. Mana referensi tentang perusakan demokrasi oleh Menwa? Banyak baca dulu Bung! Lalu lihat dari segala sisi.

    Yanfa – FISIP UIN Jakarta

    Reply
  5. Silahkan masuk menwa mas, disitu anda akan tau, Menwa mata mata atau bukan. Terus kalau pemikiran anda dkk mahasiswa lain kalau memang sesuai dengan pancasila dan uud 1945 kenapa harus takut? Kalau memang pemikiran kalian menyimpang dr ideologi pancasila, kami menwa dengan keinginan dari diri kami sendiri tanpa intrevensi dr pihak lain akan melawan anda, ini adalah bentuk kami menjaga kesatuan nkri di dalam kampus. Pemikiran dan ide bisa berbeda bang, tapi nkri? Harga mati. Sy curiga ini kepada anda.. Kenapa anda menuduh menwa memata matai? Kenapa anda takut seolah olah menwa menjadi kaki tangan tentara? Apa pemikiran anda?

    Reply
  6. Pandanganmu (pembuat artikel) sudah salah terhadap menwa, justru dengan adanya menwa kampus terasa jadi lebih aman.
    setiap tengah malam ada saja mahasiswa yang minum minuman keras dan membuat onar di area kampus saya, tapi semenjak menwa diberikan tugas piket jaga malam, mereka para mahasiswa yang biasanya minum minuman keras di area kampus kini tidak lagi berani melakukan hal tersebut karena takut kelakuan buruknya dilaporkan ke pihak rektorat.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *