Pemaksaan Lembur kepada Buruh

0

Solidaritas.net – Permintaan Order (PO) yang tinggi kerap dijadikan alasan oleh manajemen selaku “atasan” kepada para “bawahan”nya untuk melakukan kerja lembur atau yang biasa dikenal oleh kalangan buruh sendiri dengan sebutan “lembur wajib”. Sebenarnya, “atasan” atau manajemen tidak berhak memaksakan kehendaknya untuk memerintahkan kerja lembur kepada para “bawahannya”, mereka harus memperhatikan kondisi psikis maupun kesehatan buruh yang bekerja di pabrik “Tuannya” tersebut.

Terlebih lagi, di dalam UU Ketenagakerjaan, lembur bisa dilakukan atas persetujuan buruh, bukannya paksaan seperti kebanyak yang terjadi.

Ketika atasan memerintahkan kerja lembur (yang mendekati pemaksaan) kepada bawahannya yang padahal keduanya sama-sama buruh, atasan tersebut sudah seharusnya  memberikan Surat Perintah Lembur (SPL) kepada buruh untuk ditandatangani sebagai kesepakatannya atas kerja lembur. Namun, ada kasus di beberapa pabrik yang di mana seorang atasan memerintahkan kerja lembur kepada bawahannya hanya dengan ucapan lisan saja. Semestinya, untuk menjaga keakuratan data mengenai lembur, atasan wajib memberikan SPL kepada bawahannya. Karena hal yang terlihat kecil seperti itu memang sering terjadi kesalahan dan kecurangan, entah itu dalam bentuk kesengajaan maupun tidak. Kerap terjadi ketika buruh mengambil upahnya atau saat melihat slip upahnya ternyata upah lembur yang mereka terima tidak sesuai dengan upah lembur yang seharusnya mereka dapatkan. Bahkan, setelah buruh komplain ke atasannya, tetap saja mereka tidak dapatkan sisa upah lembur yang tidak dibayar.

Para atasan (yang terhormat) di pabrik memaksakan kehendak dan perintahnya kepada bawahannya untuk memperpanjang jam kerjanya dengan cara kerja lembur yang menyiksa raga maupun batin buruh yang padahal tidak sedikit di antara buruh itu sendiri merasa keberatan atas pemberlakuan “lembur wajib” tersebut. Namun, di sisi lain ada juga buruh yang mensyukuri atas masih melimpahnya lemburan di pabriknya, yang uang hasil kerja lemburnya tersebut nantinya ia gunakan untuk memperkaya diri, tanpa mengindahkan efek negatif dari kerja lembur itu sendiri. Ada juga beberapa buruh yang bersedia untuk kerja lembur karena faktor keterpaksaan atau diberi mandat oleh atasan yang otoriter.

Atasan selalu tidak memperhatikan kondisi bawahannya terlebih dahulu sebelum memerintahkan lembur, apakah kondisi mereka sedang tidak enak badan (sakit) atau tidak. Kerap juga terjadi banyak atasan di pabrik yang memang sudah tahu jika bawahannya sedang  tidak enak badan, namun atasan tersebut tetap saja memaksa para “awahannya untuk kerja lembur, sementara atasan yang memberikan perintah malah pulang cepat. Sedangkan, jika para buruh tidak menuruti kemauan dari atasannya untuk kerja lembur, buruh tersebut sering diintimidasi oleh atasannya.

PO yang terlalu tinggi sebenarnya sering membuat buruh itu sendiri kelelahan dan itu memengaruhi produktivitasnya dan aktivitasnya di luar pabrik (ketika bersosial di lingkungan tempat tinggalnya), sehingga buruh yang sering kerja lembur menjadi selalu mengabaikan urusan dan kepentingannya untuk tujuan kesosialan yang notabene buruh juga merupakan makhluk sosial. Seharusnya pabrik-pabrik yang sering memberlakukan lembur wajib menambahkan mesin-mesin produksinya dan juga tenaga kerja manusianya. Tapi, nyatanya sampai sekarang banyak pabrik yang tidak mau memedulikan hal-hal semacam itu, yang ada hanyalah melulu mencari keuntungan dan terus-terusan menghisap tenaga buruh sampai keringatnya mengucur deras. Sehingga, mau tidak mau buruh dipaksa untuk lembur wajib guna kelancaran proses produksi yang sebenarnya itu hanya tipu muslihat para atasan saja. Buruh juga kerap diperlakukan dan diperintah seperti seonggok mesin yang hanya bisa dipergunakan dan diperas tenaganya setiap saat dalam kondisi apapun oleh para atasannya. Buruh dari perspektif pengusaha merupakan perwujudan dari manusia setengah robot.

Perasaan waswas dan ketakutan berubah menjadi sesosok hantu yang menggerayangi batin buruh, dan itu berasal dari ucapan dan tindakan “atasan” yang semena-mena. Sehingga, dengan perasaan berat hati, mereka terpaksa harus menuruti apa yang menjadi perintah “atasan” terhadap dirinya.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *