Nasib ABK Indonesia, Dari Kerja 18 Jam Per Hari Hingga Ditipu dan Tak Digaji

0

Solidaritas.net, Jakarta – Ternyata tak hanya pekerja rumah tangga saja yang banyak mengalami penderitaan selama bekerja di luar negeri. Tetapi, para anak buah kapal (ABK) Indonesia juga tak sedikit yang menghadapi nasib serupa seperti pekerja rumah tangga. Mereka juga banyak yang harus menerima kenyataan dipekerjakan tak sesuai dengan aturan jam kerja. Bahkan, ada pula yang ditipu hingga tak digaji sepeser pun meski sudah bekerja berbulan-bulan.

demo spiln di jakarta
FSPIL protes perbudakan ABK.

Nasib itulah yang dialami oleh Tri Sutrisno, asal Batang, Jawa Tengah. Dia sempat bekerja 7 bulan di kapal Oyang 77, milik PT Sajo International Co, Ltd, Korea di perairan Uruguay. Namun, tiba-tiba dia dipulangkan dengan alasan malas bekerja, dan gajinya sebesar 320 dolar AS per bulan ditahan 3 bulan oleh pihak penyalur, PT KTJ di Jakarta Utara. Mirisnya, saat meminta sisa gajinya itu, Sutrisno malah dituntut balik untuk membayar ganti rugi.

“Ketika saya datangi PT untuk minta sisa gaji saya dibayar, malah saya dituntut balik bayar ganti rugi tiket kepulangan sebesar 1.580 dolar AS. Selain itu, dokumen kartu keluarga, ijazah dan sertifikat Basic Safety Training (BST) masih di PT. Mau saya ambil tapi disuruh tebus Rp 2,5 juta”, cerita Sutrisno seperti dikutip dari Konfrontasi.com, Sabtu (30/5/2015).

Pria 20 tahun itu sendiri mulai bekerja di kapal tersebut sejak tanggal 25 Oktober 2014. Bersama 28 ABK lainnya, dia juga dipekerjakan hingga 18 jam per hari. Beberapa hari sebelum dipulangkan, Sutrisno dan ABK lainnya disuruh menandatangani surat berbahasa Korea yang tak diketahui artinya. Pada 12 Mei 2015, dia sampai di Indonesia. Didampingi oleh Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN), dia pun mengadukan permasalahannya itu ke Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Nasib lebih tragis dialami Edy Supriyono. Pemuda asal Pati, Jawa Tengah itu bekerja seperti budak di sebuah kapal penangkap ikan milik perusahaan asal Taiwan di perairan Karibia. Dia juga ditipu uang oleh sponsor perusahaan, dipalsukan dokumen buku pelautnya, dijanjikan kerja di kapal besar dan mewah, mabuk laut sebulan, hingga dipaksa bekerja 20 jam per hari, serta harus tetap bekerja meski sakit, minim obat-obatan dan mengalami kekerasan.

Selain itu, Edy juga tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia, tidak pernah ke daratan, ditelantarkan selama 6 bulan tanpa makanan yang mencukupi, dan dipulangkan ke Tanah Air tanpa menerima gaji. Saat sampai di Indonesia, dia malah menjadi korban proposal oleh LSM yang mengaku peduli TKI dan kasusnya tak dipedulikan oleh pemerintah.

“Itu pengalamanku dan kawan-kawan ABK yang diberangkatkan ke luar negeri melalui PT Bahana Samudera Atlantik (BSA) di daerah Bekasi yang sekarang sudah tutup, kabarnya,” ungkap Edy pula saat menceritakan nasibnya bersama 40 ABK lain yang disalurkan PT BSA.

Sedangkan, Agus asal Cilacap, mengaku sudah 3 tahun tak digaji. Dia juga pernah dijanjikan program bantuan reintegrasi sosial oleh salah satu LSM internasional. Dia dan 7 temannya berencana berusaha ternak bebek. Mereka disuruh membuat proposal pengajuan ternak dan diserahkan pada LSM lokal mitra dari LSM internasional itu. Agus dan teman-temannya juga disuruh menyiapkan beberapa kuitansi kosong dan menandatangani pengajuan dana sebesar Rp 81 juta. Namun, sejak 2013 hingga saat ini, mereka belum menerima bantuan tersebut.

“Cerita mereka seharusnya menjadi cerminan bagi pemerintah Indonesia untuk secepatnya memberikan, meningkatkan dan mengutamakan system perlindungan kepada para TKI Pelaut yang mengalami permasalahan dan kerugian, baik kerugian materil maupun kerugian imateril para korban,” pungkas SPILN menyampaikan kritik kepada pemerintah Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *