Kekuasaan Kapitalis di Pabrik

0

Kekuasaan kapitalis di dalam pabrik/perusahaan untuk memeras dan menghisap buruh:

pekerja pabrik
Pekerja pabrik (foto ilustrasi). © Daniel-Wong.com.

Awal ceritanya, buruh–yang tak memiliki apa-apa selain tenaga kerjanya dan, karenanya, tak ada alternatif lain–menjual tenaga kerjanya pada kapitalis. Dan kapitalis akan membeli tenaga kerja buruh selama tenaga kerja buruh dapat menjadi sumber yang menghasilkan nilai lebih–atau nilai tenaga kerja buruh yang tidak dibayar oleh kapitalis karena dirampas kapitalis untuk keuntungannya atau untuk menumpuk modalnya (lihat penjelasan di status-status sebelumnya). Di dalam pabrik/perusahaan, dengan kekuasaannya, kapitalis berupaya memperpanjang dan menseksamakan jam kerja buruh serta meningkatkan produktivitas buruh, guna menambah nilai lebih (atau nilai tenaga kerja buruh yang tidak dibayar oleh kapitalis), atau guna menaikkan tingkat penghisapan tenaga kerja buruh. Jadi, perkembangan dunia produksi kapitalis bertumpu pada 2 (dua) variabel: jam kerja buruh; dan tingkat produktivitas. Kapitalis akan mengendalikan buruh dalam hubungan (sosial) yang menekan, yang memaksa. (Baca juga: Penghisapan dan Perampasan Keringat Buruh)

Nilai lebih (atau nilai tenaga kerja buruh yang tidak dibayar oleh kapitalis) yang dihasilkan dengan memperpanjang jam kerja dinamakan NILAI LEBIH MUTLAK, absolut, karena dorongan penambahannya, derajat peningkatannya, dan setiap peningkatannya, pada saat yang sama, merupakan penambahan yang mutlak dalam menghasilkan nilai (yang diproduksinya). Karena modal itu memiliki dorongan untuk tumbuh tak terbatas, maka modal (kapitalis) juga akan berupaya memperpanjang jam kerja tanpa batas; dorongan nafsunya adalah menghisap sebanyak mungkin nilai lebih (tenaga kerja yang tidak dibayarkan). (Baca juga: Teori Ekonomi, Hubungan dan Transaksi Kerja)

Modal adalah TENAGA KERJA-MATI yang, layaknya-drakula, hanya bisa hidup dengan menghisap TENAGA KERJA-HIDUP, dan akan semakin panjang hidupnya bila semakin banyak tenaga kerja (yang tidak dibayar) yang dihisapnya. Modal akan berupaya sekuat mungkin agar setiap detik harinya menjadi jam kerja, yang dibadikan bagi peningkatan nilai-diri modal. Namun terdapat halangan, yang juga mutlak, yang menghambat pertumbuhan modal dengan cara memperpanjang jam kerja, yakni: 1 hari itu hanya 24 jam, tak bisa diperpanjang lagi. Di dalam 24 jam itu, tentu saja buruh membutuhkan waktu untuk istirahat, menyegarkan diri kembali, makan, dan membersihkan diri. Itulah ujian bagi modal dalam meningkatkan nilai lebih mutlak (tenaga kerja buruh yang tidak dibayarkan). Selain itu, ada juga hambatan moral dan sosial: buruh butuh memuaskan kesenangan pribadinya, kebutuhan intelektual dan sosialnya. Namun, karena dorongan nafsu menghisap nilai lebih mutlak (tenaga kerja buruh yang tidak dibayarkan) yang tiada batas, maka modal tak peduli semua itu–bahkan modal bukan saja bisa melanggar hambatan moral, tapi juga bisa melanggar batas kemampuan fisik buruh dalam bekerja.Itulah yang menyebabkan kemerosotan tenaga kerja buruh, rentan terkena penyakit, kelelahan dan kematian yang belum saatnya. dan itulah yang menyebabkan perlawanan buruh dalam bentuk perjuangan untuk memperpendek jam kerja.

Nafsu untuk mengisap nilai lebih (tenaga kerja yang tidak dibayarkan) mendorong kapitalis meresponnya dengan cara mencari jalan lain, yakni: meningkatkan NILAI LEBIH RELATIF dengan meningkatkan produktivitasmelalui perbaikan cara kerja–salah satunya, yang paling ampuh, adalah dengan cara mempercanggih perkakas produksi dan sarana-sarana produksi lainnya, atau mempertinggi teknologi produksi; atau paling tidak dengan pengawasan ketat dan lembur. Sehingga jam kerja buruh tetap pendek (dengan begitu, bayarannya murah), tapi produktivitasnya tinggi, karena dengan adanya teknologi yang tinggi, maka dalam waktu yang lebih singkat hasil produksinya akan lebih banyak, bagus dan murah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *