Solidaritas.net – ‘Target’ adalah kata umum yang diketahui oleh buruh yang bekerja di pabrik, karena pengusaha selalu menekankan pencapaian target harus dicapai oleh buruh. Sebenarnya, target merupakan bagian dari ukuran produktivitas yang dinyatakan dengan persentase (%). Produktivitas dinilai dari barang atau jasa yang dihasilkan.
Produktivitas = output
Dilansir dari produksielektronik.com, untuk menghitung produktivitas (%) pengusaha menggunakan rumus sebagai berikut:
Dengan perhitungan ini, buruh ditekankan untuk mencapai produktivitas 100 % bahkan lebih. Sebagai catatan, standard time yang biasanya dinyatakan dengan menit ini adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengoperasikan sebuah mesin, yang ditetapkan oleh para pembuat mesin produksi. Misalnya, ditetapkan waktu 60 detik untuk pencampuran bahan, 50 detik untuk perakitan, 5 detik quality control dan 5 detik untuk pengemasan, maka standard time adalah 2 menit.
Berdasarkan rumus di atas, maka konsekuensi peningkatan produktivitas dilakukan dengan cara:
- Menaikan jumlah output target.
- Mengurangi jumlah tenaga kerja.
- Penambahan jumlah tenaga kerja sekaligus menambah jumlah output, dengan catatan kenaikan output harus lebih besar dari penambahan jumlah tenaga kerja.
- Mempercanggih mesin-mesing produksi sehingga standard time menjadi lebih kecil, hasil produksi meningkat.
- Pencabutan otoritas (kekuasaan) buruh sebagai produsen (penghasil) langsung terhadap barang-barang yang dihasilkannya. Buruh menjadi pekerja yang bisa dikendalikan sepenuhnya oleh pengusaha, yang tidak bisa menentukan kondisi kerja. Hal ini termasuk dengan meniadakan serikat buruh sebagai alat perjuangan buruh. Keberadaan serikat pekerja dan tuntutan-tuntutannya dianggap memperbesar biaya dan mengurangi keuntungan. Serikat pekerja dibolehkan sepanjang bersedia berkompromi dengan pengusaha atau bahkan tidak menuntut sama sekali.
Kenapa pengusaha menggunakan rumus tersebut, bukannya menggunakan rumus sederhana sebagai berikut:
Itu karena produktivitas dinilai sebagai keuntungan pengusaha belaka, sementara upah buruh dinilai sebagai pengeluaran yang ditempatkan sebagai ‘bilangan yang dibagi’ (pembilang). Seorang buruh merasa produktif jika menghasilkan banyak uang dari bekerja, sehingga mereka akan bekerja giat dan lembur untuk membawa lebih banyak uang ke rumah (take home pay). Tapi, bagi pengusaha, produktivitas dihitung dari memperbesar jumlah produk dengan sesedikit mungkin jumlah buruh, yang artinya menekan jumlah upah. Jadi, produktivitas dihitung dari kepentingan pengusaha belaka.
Sehingga, dalam pemenuhan target sesuai hitung-hitungan di atas agar mencapai 100 %, setiap menit menjadi sangat berharga. Terlalu banyak izin untuk buang air kecil dan minum, misalnya, dianggap tidak produktif. Tidak heran, banyak cerita-cerita di mana izin buang air kecil dijatah dengan kupon, atau bahkan tidak diizinkan sama sekali. Seorang buruh bernama Budi menceritakan bagaimana pengalamannya bekerja di sebuah pabrik elektronik. Buruh-buruh di sana mengikatkan botol air minum di badan mereka yang dilengkapi selang air ke arah mulut, agar buruh dapat minum sambil bekerja, tanpa perlu beranjak dari depan mesin.
‘Kejar target’ semacam ini mempengaruhi kesehatan kerja, bahkan keselamatan kerja karena buruh diharuskan bekerja secepat-cepatnya. Dalam jangka panjang, kondisi kerja semacam ini akan berdampak pada kesehatan, terutama saat usia produktif habis. Meski berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan dan tidak menyenangkan, buruh, terutama yang berstatus kontrak dan outsourcing, sangat ketakutan jika tidak mencapai mendapatkan target kerja dalam produksinya, karena berpengaruh dalam penilaian dan keberlangsungan kerjanya di perusahaan.