Perusahaan Belum Pekerjakan Difabel Sesuai Kuota

0
Foto ilustrasi: Liputan6.com

UU Nomor 4 tahun 1997 pasal 14 menyatakan penyandang cacat  atau difabel memiliki kuota satu persen dari
setiap 100 orang yang bekerja di sebuah perusahaan. Namun pada faktanya,
peraturan ini hanya sekedar menjadi peraturan, perusahaan tidak benar-benar
menerapkannya.

Perusahaan justru
menetapkan kriteria-kriteria yang mendiskriminasi kaum difabel saat membuka
lowongan kerja. Pada informasi lowongan kerja, perusaahaan menetapkan sehat
jasmani dan rohani sebagai salah satu syaratnya. Sulit sekali
kita temukan iklan lowongan pekerjaan untuk difabel.
Ini tentu sudah
menyalahi peraturan tersebut, sayangnya tidak ada hukum yang dapat digunakan
untuk menindak para pengusaha yang melanggar aturan. Meskipun begitu, adapula
beberapa perusahaan yang bersedia menerima difabel, hanya saja penerimaan itu
sekedar untuk pencitraan perusahaan belaka, hanya untuk kampanye produk.
Seperti diceritakan
juru bicara F-SEDAR, Andri Yunarko mencontohkan sebuah kasus di
Olimpiade Beijing. Saat itu terbongkar buruknya fasilitas dan upah pada
pabrik-pabrik Nike di China. Persoalan tersebut diangkat oleh banyak aktivis
buruh maupun LSM di China, kemudian juga dikampanyekan oleh Adidas sebagai
pesaing Nike. Akibatnya beberapa negara kemudian membatalkan kerjasama dengan
Nike dan beralih ke Adidas dan Puma.
Nike
seolah mengutamakan prinsip kesetaraan dan anti diskriminasi dalam pembuatan
produknya, dengan jalan menunjukkan adanya pekerja difabel di pabrik-pabrik
Nike. Itulah contoh bahwa pengusaha hanya sedang berusaha
membuat publik percaya bahwa perusahaannya sudah menerapkan aturan.
Berkaitan dengan itu, APINDO
Jatim mencatat, pada tahun 2010 hanya ada 10 perusahaan yang mendapat
penghargaan karena mempekerjakan difabel di perusahaannya.
Itu masih sangat kontras dengan jumlah
difable. Laporan Bank Dunia dan WHO pada 2011 mengenali jumlah difabel di dunia
adalah 15 persen dari total populasi dunia. Sedangkan total populasi difabel Indonesia
mencapai 10 juta jiwa.
Sedangkan menurut data dari Apindo, ada 7.126.409
pekerja difabel di Indonesia. Dengan rincian, tunanetra 2.137.923 orang, daksa
1.852.866, tuli 1.567.810 orang, kronis 855.169 orang dan mental 712.641 orang. 
Akibat perusahaan banyak
yang tidak mematuhi UU Nomor 4 tahun 1997 pasal 14, akhirnya problem ini harus
menjadi tanggung jawab serikat buruh di setiap PT.  Buruh harus memastikan
kebijakan tersebut benar-benar dijalankan dengan tepat dan menjadikan hal ini
sebagai tuntutan kepada pengusaha, mengingat buruh sebenarnya juga berkepentingan
langsung terhadap hal ini, sebab ada juga difabel yang disebabkan oleh
kecelakaan kerja misalnya.

“Di
dalam tuntutan ini juga termasuk mengiklankan lowongan pekerjaan untuk difable,
kemudian mengatur tempat kerja yang sesuai dengan kondisi difabel tersebut,”
tutur Andri kepada Solidaritas.net, Jumat (18/03/2016).

Senada dengan Andri,
Mujiyo berpendapat, harus ada sanksi terhadap perusahaan yang tidak menjalankan
aturan.

“Karena setiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak,” tegasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *