Pemerintah Harus Tanggung Jawab Lindungi Buruh Migran

0
BMI menolak kriminalisasi dan overcharging. Foto: 

Jakarta –
Pada
peringatan Hari Buruh Internasional tahun ini, Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) menegaskan,
perlindungan dan pembelaan terhadap Buruh Migran Indonesia (BMI) masih terabaikan.  Olehnya, BMI menuntut agar negara melindungi
dan membela hak-hak BMI beserta keluarganya.

Selama ini, BMI diikat oleh dua jenis peraturan
yang merugikan hak mereka, yaitu aturan negara penempatan yang merugikan dan
membuat BMI rentan mengalami masalah dan aturan pemerintah yang mengikat BMI
pada PJTKI.
Peraturan tersebut berdampak pada masa kontrak
kerja yang pendek, pengetatan ijin visa kerja, upah murah, dilarang pindah ke
jenis pekerjaan lain, overcharging, penahanan dokumen dan pemalsuan data paspor
oleh PJTKI, dan BMI rentan dijadikan sasaran sindikat narkoba dan perdagangan manusia dll.
Terkait Overcharging,
pemerintah telah menetapkan jumlah biaya penempatan yang sangat mahal
melalui sistem potongan gaji, tapi kenyataannya BMI ditarik lebih tinggi lagi.
Jika gagal melunasi, PJTKI/agen/bank tidak segan mengintimidasi dan mengkriminalisasi
BMI dan keluarganya.
Bagi mereka yang dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum kontrak atau
potongan habis, sebagian besar diperintahkan untuk mengulangi biaya tersebut.
Berikut jumlah biaya yang dipungut di beberapa Negara:  Hong Kong (HK$16,000 = Rp. 27 juta, 6-7 bulan
potongan), Macau (20,000 patacas = Rp. 33 juta, 7-8 bulan potongan), Taiwan (56,880
TWD = Rp. 23 juta, 7-9 bulan potongan), Singapura (3,000 SGD = Rp. 29 juta, 6-10
bulan potongan).
Kemudian kriminalisasi
dan deportasi BMI korban pemalsuan data paspor. Sekian puluh tahun tidak ada
upaya menghentikan praktek ini tapi, sebaliknya, pemerintah justru
melanggengkan dengan menolak memberlakukan kontrak mandiri. Padahal pemerintah
bisa menghentikannya melalui proyek paspor biometrik berbasis SIMKIM.
Dari hasil survey
terhadap 497 BMI di Hong Kong ditemukan, 15,5% BMI dipalsukan namanya dan 31%
BMI dipalsukan kelahirannya. Belum lagi praktek pemalsuan data yang menimpa BMI
di negara-negara tujuan lain. Akibatnya, di Hong Kong ada empat orang dipenjara, lima orang menunggu vonis pengadilan dan puluhan lain tidak diberi visa kerja.
Ketika para korban diinterogasi dan dituntut, Pemerintah tidak menyediakan pendampingan
pengacara.
Sementara itu, revisi UUPPTKILN No. 39/2004 masih
mempertahankan BMI sebagai budak, PJTKI sebagai majikan/tangan kanan Negara
yang bertanggungjawab atas BMI, sementara pemerintah tetap bebas dari
kewajibannya melindungi BMI.
Akibat penelantaran ini, BMI dan keluarganya
semakin terlunta-lunta. Maka pada hari pengakuan hak buruh sedunia, JBMI mengingatkan
pemerintah untuk segera memenuhi kewajibannya kepada BMI dan keluarganya dengan
memenuhi tuntutan penghapusan ikatan paksa antara BMI dan PJTKI dan jadikan
kontrak mandiri sebagai pilihan BMI; penyelamatan dan perlindungan korban pemalsuan data paspor dari
kriminalisasi dan deportasi; penghentian kriminalisasi overcharging dan bentuk-bentuk pelanggaran
hak lain BMI; penciptaan sistem pengaduan dan penuntutan ganti rugi
dari PJTKI/agen yang melanggar hak BMI; cabut UUPPTKILN No.39/2004 dan ciptakan UU yang sesuai
amanat Konvensi PBB tahun 1990 dan C189, dan; penyediaan pendampingan kasus dan pelayanan yang ramah,
cepat dan berpihak pada BMI di luar negeri.

“Pada peringatan Hari Buruh Internasional ini, kami
menegaskan kembali tuntutan kami kepada pemerintah Indonesia untuk
bertanggungjawab penuh atas perlindungan dan pembelaan hak BMI dan keluarganya.
Kami menuntut pemerintah untuk menghormati dan menegakkan hak kami sebagai
buruh dan menghukum siapapun yang sengaja melanggar hak kami,”demikian tegas
Iweng Karsiwen, Sringatin, Yosha Waryati, dan Fitri Susanti dalam pernyataan
sikap JBMI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *