Catatan Lepas tentang Buruh Outsourcing dan Buruh Kontrak

0

(Bagian 1)

I. Outsourcing

1. Upaya kapitalis untuk menghemat biaya produksi salah satunya adalah dengan mediskriminasi (membeda-bedakan) upah, tunjangan dan hak-hak ekonomi lainnya terhadap buruh pekerjaan-pekerjaan tertentu—cleaning services (kebersihan); kantin; antar-jemput dan delivery (pengiriman); security (Satpam); dan pertambangan; atau secara formal disebut sebagai buruh outsourcing (alih daya)—dan, melalui lembaga-lembaga keuangan serta perdagangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund); Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization), mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk memasukkan pasal buruh outsourcing dan pasal buruh kontrak dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan kita. Tentu saja pemerintah Indonesia bersepakat dengan mereka (kapitalis asing) karena pejabat-pejabat Indonesia bermetal budak, bermental calo, pengecut—takut tak diberi utang lagi—dan bodoh—dalam arti: tak sanggup membangun industrialisasi nasional;

2. Namun, diskriminasi upah, tujangan, dan hak-hak ekonomi dalam pekerjaan tertentu tersebut saja dirasa tidak cukup menghemat oleh kapitalis; oleh karena itu, kapitalis, kemudian, walaupun melanggar hukum, dengan berbagai macam alasan, menentukan (dengan seenaknya) bahwa beberapa pekerjaan-pekerjaan pokok produksi (core business) dapat digolongkan atau dikategorikan sebagai pekerjaan buruh outsourcing. Sekarang ini, sedang merajalela buruh-buruh outsoucing (dengan hak-hak yang didiskriminasi) ditempatkan dalam core business, dan hak-hak ekonomi buruhnya digolongkan sebagai buruh outsourcing;

3. Selain itu, dalam upaya kapitalis untuk menghemat biaya produksi lebih besar lagi, sekarang sedang merajalela pula: kapitalis mengatur proporsi atau jumlah perbandingan antara buruh tetap dan buruh kontrak lebih kecil ketimbang buruh outsourcing, sehingga daya tawar buruh tetap dan buruh kontrak (dalam menekan kapitalis) lebih kecil ketimbang buruh outsourcing. Celakanya, banyak Pengurus Unit Kerja (PUK) yang tidak sadar kekuatan, sehingga tidak mau merangkul atau bersatu-berjuang dengan buruh outsourcing. Padahal, tidak ada ketentuan (dalam Undang-Undang) bahwa buruh outsourcing tidak boleh menjadi anggota serikat (perusahaan yang menggunakan tenaganya), semua PEKERJA—tanpa penggolongan—boleh menjadi anggota serikat (perusahaan yang menggunakan tenaganya);

4. Dengan demikian, perlawanan kita terhadap praktek-praktek outsourcing, oleh kapitalis akan dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan standard biaya produksi (kapitalis), menghambat penghematan kapitalis. Dan karena praktek-praktek outsourcing itu telah merajalela hampir di semua perusahaan, maka peningkatan standard biaya produksi tersebut akan menyangkut peningkatan biaya produksi yang sangat besar (apalagi dihitung di seluruh kawasan industri atau nasional), sehingga besar kemungkinan perlawanan PARA KAPITALIS pun akan sangat kuat—sekarang PARA KAPITALIS tersebut belum terkonsolidasi dengan kuat, sehingga ada satu atau dua perusahaan yang mengabulkan tuntutan kita (misalnya kasus perusahaan HERO dan yang lain-lainnya; yang dikabulkan tuntutannya; tidak demikian dengan Indomatsumoto dan IST, yang mengancam akan menutup perusahaannya sehingga buruh outsourcing mundur dan mengalami kerugian);

5. Oleh karena itu, perlawanan terhadap praktek-praktek outsorcing harus diperjuangan bersama—persatuan buruh tetap, buruh kontrak, dengan buruh outsourcing. Karena perjuangan tersebut bukan saja menyangkut kepentingan buruh outsoucing, namun juga menyangkut kepentingan buruh tetap dan buruh kontrak—karena, buruh tetap dan buruh kontrak, bila daya tawarnya (dalam menekan kapitalis) kecil maka perjuangannya menuntut kesejahteraannya akan menjadi semakin sulit. [Sebagai contoh, ada perusahaan yang, bila buruh tetap dan buruh kontraknya mogok, maka proses produksi tetap bisa dijalankan oleh buruh outsourcing karena proporsi (perbandingan) buruh outsourcing nya lebih banyak (jumlahnya) dan sudah ditempatkan di core business—bahkan di jantung proses produksi];

6. Perjuangan terhadap praktek-praktek outsourcing di tingkat pabrik, bukannya tidak boleh dilakukan, namun akan memakan waktu lama dan terkurasnya tenaga perlawanan, apalagi tidak ada solidaritas dari PUK-PUK lainnya—kita tahu solidaritas tersebut sangat penting, karena ada PUK yang tidak atau belum bisa menyelesaikan persoalannya sendiri;

7. Karena itu, perjuangan terhadap praktek-praktek outsourcing harus dilakukan dengan kekuatan perjuangan yang besar, kekuatan perjuangan yang bersatu;

8. Dan kekuatan perjuangan yang besar, kekuatan perjuangan yang bersatu tersebut, sebaiknya tidak diarahkan dari pabrik ke pabrik saja, namun kita juga harus menambah kekuatan penekan kita dengan memaksa negara untuk menekan kapitalis. Dengan demikian, harus ada saat-saat tertentu untuk mengkonsentrasikan kekuatan—lebih baik lagi dengan mewujudkan persatuan dengan berbagai kelompok buruh lainnya atau kelompok-kelompok non-buruh lainnya (terutama mahasiswa)—untuk aksi mendatangi Bupati, Menaker, Presiden, Parlemen, dan Mahkamah Konstitusi serta, selain itu, dengan menutup kawasan kembali.

(bersambung)

Catatan Lepas tentang Buruh Outsourcing dan Buruh Kontrak (Bagian 2)
Catatan Lepas tentang Buruh Outsourcing dan Buruh Kontrak (Bagian 3)
Catatan Lepas tentang Buruh Outsourcing dan Buruh Kontrak (Bagian 4)
Catatan Lepas tentang Buruh Outsourcing dan Buruh Kontrak (Bagian 5)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *