Petani Karawang Lawan “Teror Agraria” dari Agung Podomoro Land

0

Solidaritas.net, Karawang – Konflik lahan antara kaum petani dengan perusahaan besar masih saja terus terjadi di Indonesia. Banyak lahan para petani di negeri yang dirampas dan dikuasai secara paksa oleh para pemilik modal. Makanya, tak heran jika lahan pertanian pun semakin berkurang dan semakin sempit, sehingga membuat para petani kehilangan pekerjaannya.

petani teluk jambe hadang aparat
Petani Teluk Jambe hadang aparat yang mengawal eksekusi lahan Agung Podomoro, 24 Juni 2014 lalu.

Permasalahan ini pula yang dihadapi oleh kelompok petani di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Mereka terpaksa kehilangan lahan pertanian karena dikuasai oleh perusahaan besar di bidang properti di Indonesia, Agung Podomoro Land. Karena merasa dizalimi, para petani ini bersatu dan berjuang untuk merebut kembali lahan mereka yang sudah “dirampas” itu. (Baca juga: Bela Petani, Buruh Hadang Aparat)

Sayangnya, negara justru terkesan mengabaikan kasus yang menyangkut kehidupan para petani ini. Bahkan, menurut Engkos Koswara, salah satu perwakilan petani, aparat penegak hukum pun turut membela dan membantu Agung Podomoro Land dalam mempertahankan lahan tersebut. Sehingga, para petani pun terus semakin tersudut dalam kasus konflik lahan itu.

“Hal ini dibuktikan dengan condongnya putusan hukum berikut tindakan aparat penegak hukum di lapangan, sebagaimana PK 160 (surat keputusan Peninjauan Kembali Nomor 160.PK/PDT/2011) yang diproduksi oleh MA (Mahkamah Agung) dan kebrutalan aparat Brigade Mobil (Brimob) saat menjalankan putusan pengadilan waktu eksekusi riil,” ungkap Engkos dalam siaran persnya yang diterima oleh Solidaritas.net, Selasa (03/03/2015).

Konflik lahan ini terjadi sejak PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP) mengklaim menguasai lahan 350 hektar itu. Dalam persidangan gugatan rekovensi di Pengadilan Negeri Karawang, pihak PT SAMP yang kini menjadi Agung Podomoro Land itu berhasil menang. Namun, petani menilai kemenangan itu karena aparat penegak hukum berpihak pada PT SAMP yang hanya memiliki bukti-bukti palsu, seperti Surat Pelepasan Hak (SPH) dan Peta Bidang.

Menurut Engkos, SPH itu sendiri sudah disita oleh Kejaksaan Tinggi, sedangkan Peta Bidang disita oleh kepolisian. Sehingga, SPH dan Peta Bidang yang dimiliki oleh PT SAMP pun dipertanyakan keabsahannya. Apalagi, jauh sebelumnya para petani pernah memenangkan konflik atas lahan tersebut dari PT SAMP. Bahkan, beberapa sertifikat hak milik (SHM) atas tanah tersebut juga sudah pernah dikeluarkan dengan kepemilikan ada pada para petani.

Oleh karena itu, wajar saja para petani merasa telah dizalimi dan memandang putusan hukum atas lahan tersebut cacat permanen. Para petani menilai putusan tersebut cacat hukum, karena pengadilan sarat dengan suap. Menurut Engkos, sejumlah pendapat hukum juga menyebut putusan tersebut bersifat unexecutable, karena penuh dengan kepalsuan.

“Dengan demikian, bagi kami melawan Podomoro adalah melawan teror agraria yang bukan hanya berlangsung di Desa Wanasari, Wanakerta dan Margamulya (Karawang). Akan tetapi, teror agraria mengancam petani seluruh Indonesia, mengancam kedaulatan pangan kita, serta mengancam masa depan kemanusiaan di atas bumi. Keangkaramurkaan ini harus dilawan dengan cara ‘Ganyang Teroris Agraria, Agung Podomoro Land’,” tandas Engkos.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *