KontraS: Terjadi 134 Penyiksaan dalam Setahun

0

Jakarta – Dalam peringatan hari anti penyiksaan sedunia, Komisi untuk Orang Hilang dan Koban Tindak Kekerasan (KontraS) mengeluarkan catatan terkait praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya. Selama setahun terakhir setidaknya terdapat 134 peristiwa penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya.

Badan pekerja KontraS saat siaran pers, Sabtu (25/6/2016).
(Foto: KontraS)

Peristiwa-peristiwa ini paling banyak terjadi di wilayah Provinsi Sumatera Utara (19 peristiwa), Jawa Barat (13 peristiwa), Jawa Tengah (11 peristiwa), Sulawesi Selatan dan Papua (masing-masing 8 peristiwa).

Laporan KontraS disusun berdasarkan hasil pendokumentasian dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, baik melalui laporan pemantauan dan/atau investigasi kasus, pendampingan hukum terhadap korban dan keluarga korban dan sumber dokumen sekunder lainnya sepanjang Juni 2015-Juni 2016.

Adapun pelaku penyiksaan masih didominasi oleh Kepolisian RI yang tercatat telah melakukan 91 tindakan penyiksaan dan perbuatan tidak manusiawi lainnya. Disusul oleh aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebanyak 24 kasus dan petugas lapas dengan 19 kasus.  Dari seluruh kasus tersebut, KontraS mencatat terdapat 260 orang menjadi korban penyiksaan dan sebagian besar korbannya berusia antara 15-25 tahun.

Catatan KontraS menemukan bahwa meningkatnya praktik-praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi ini juga amat terkait dengan rendahnya respons dan kemauan dari institusi kepolisian untuk menyelesaikan kasus-kasus kriminalisasi yang sebenarnya amat terkait erat dengan praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya. Selain itu, angka ini bisa jadi dinamis dan berlipat karena praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya juga terjadi di lokasi-lokasi yang minim audit, seperti pusat-pusat penahanan: sel kepolisian, lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan.

Selain itu, di antara kasus-kasus tersebut KontraS menemukan pola-pola umum yang dilakukan pelaku atau institusi pelaku penyiksaan untuk mempersulit pengungkapan kasus. Pertama, dengan melakukan intimidasi atau menawarkan sejumlah uang kepada keluarga korban untuk tidak memproses hukum kasusnya.

Kedua, pelaku penyiksaan juga melakukan upaya pembunuhan karakter korban penyiksaan untuk melegitimasi perbuatannya yang kadang diiringi dengan kriminalisasi berupa pelaporan tindak pidana terhadap korban atau keluarganya. Ketiga, pelaku penyiksaan juga mempersulit upaya pengumpulan bukti seperti menghambat otopsi, mengintimidasi saksi, menyalahkan atau menciptakan rekam jejak penyakit korban.

Berdasarkan temuan-temuan dalam laporan situasi penyiksaan di Indonesia sepanjang 2015 – 2016 di atas, KontraS merekomendasikan:

Negara menghentikan praktik-praktik penyiksaan di Indonesia, termasuk di wilayah – wilayah yang masih memiliki sumbu ketegangan konflik seperti di Papua, Poso dan Maluku. Selain itu, negara harus menyediakan, memastikan dan menghadirkan ruang evaluasi atas peningkatan kapasitas pemahaman aparat penegak hukum dan keamanan khususnya kepolisian dan TNI dalam melakukan tugas pokok dan fungsi pada penyelidikan dan penyidikan, fungsi pemantauan dan kontrol dari proses tersebut sehingga tidak menggunakan jalan pintas dengan menggunakan metode penyiksaan. Mengesahkan RUU Perubahan KUHP dan RUU Tindak Pidana Penyiksaan serta revisi UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer adalah suatu keharusan.

Pemerintah harus mempercepat proses pembahasan RUU Perubahan KUHP dan RUU Tindak Pidana Penyiksaan menjadi sebuah kewajiban untuk mengisi kekosongan hukum. Negara juga harus segera meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan dan Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa serta Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional yang bisa dijadikan rujukan dalam melihat ruang akuntabilitas untuk kejahatan penyiksaan yang masuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan.

Institusi-institusi negara independen yang memiliki mandat untuk melakukan fungsi pengawasan, pemantauan, perlindungan dan pemulihan secara ketat harus menggunakan alat ukur terpercaya (salah satunya mekanisme vetting) untuk mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan penyiksaan. Institusi eksternal tersebut harus dipastikan dapat bersinergi dengan institusi negara lainnya (internal) untuk memastikan adanya mekanisme pencegahan, penghukuman atas kejahatan penyiksaan yang masih berjalan, perlindungan kepada saksi dan korban serta pemulihan hak-hak korban sesuai dengan standar instrumen hukum HAM Internasional.

Badan-badan pemerintah, lembaga negara dan badan-badan peradilan harus menyediakan dan mengefektifkan akses keadilan dan layanan perlindungan serta pemulihan secara efektif dan objektif   kepada korban. Hal ini penting dipastikan guna menjamin  hak-hak korban dan saksi dalam melakukan pelaporan, mendapatkan bukti-bukti, mendapatkan perlindungan, layanan medis, pskisosial, resritusi dan hak-hak korban relevan lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *