Keanggotaan Serikat Buruh Bersifat Pluralistik

0

Pembelaan terhadap persoalan dan hak-hak buruh tidak mudah atau hak-hak buruh tidak didapatkan jika dilakukan sendiri-sendiri atau terpisah. Maka, mendirikan organisasi buruh sangat diperlukan sebagai alat menyatukan kekuatan demi melakukan pembelaan terhadap persoalan atau hak-hak buruh.

Ilustrasi perjuangan untuk buruh (Foro : Merdeka.com)

Sebagai contohnya, saat Pekerja Awak Tangki (AMT) PT Pertamina Patra Niaga memenangkan tuntutan setelah beberapa hari melangsungkan mogok kerja

Dalam proses pembentukanya, organisasi buruh, Serikat buruh, Federasi, Konfederasi Serikat Buruh tidak dapat dihalang-halagi oleh pihak perusahaan atau pihak pemerintah baik dalam bentuk mengintimidasi, kampanye anti Serikat Buruh atau pemutusan hubungan kerja dll. Pembentukan organisasi itu dilindungi UU. No 21 tahun 2000.

“Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja /serikat buruh”.

Bahkan ada sanksi yang bisa diberikan kepada pihak-pihak yang tetap menghalang-halangi pembentukan organisasi buruh sesuai pasal 23 UU No. 21 tahun 2000.

“Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

 Serikat Buruh Berbasis Kelas

Serikat buruh semestinya tidak membatasi dirinya hanya pada identitas tertentu, misalnya agama, ras, fisik, suku, bangsa, jenis kelamin dan semacamnya. Sebab sejatinya serikat buruh dibangun berdasarkan pengelompokan berbasis kelas di bawah sistem produksi kapitalisme.

Cara produksi kapitalisme berusaha meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari hasil kerja buruh yang hanya mendapatkan upah subsisten untuk bertahan hidup. Apapun agama, ras, jenis kelamin, suku, warna kulit dan ciri fisik lainnya, semua buruh merasakan penghisapan yang sama.

Pembelahan berdasarkan identitas ini kerap dilakukan agar kelompok identitas tertentu menanggung penghisapan yang lebih berat ketimbang kelompok identitas yang lain dan merusak hubungan solidaritas di antara mereka.

Sebagai contoh, bagaimana kelompok perempuan mendapatkan penghisapan yang lebih berat. Kaum perempuan rentan mengalami penindasan seksual di tempat kerja dan masih harus menanggung beban domestik di rumah tanpa tunjangan sosial.

Ras kulit berwarna menanggung beban penindasan sebagai budak-budak di perkebunan Amerika pada masa lalu.

Sampai hari ini, bagaimana tenaga kerja berkebangsaan Indonesia, khususnya perempuan, dijadikan sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) di negeri-negeri Timur Tengah yang rentan mengalami penyiksaan.

Di sebuah pabrik, pembagian kerja tidak membeda-bedakan agama dan suku tertentu. Ketika ada masalah seperti persoalan outscorsing, upah murah atau yang tidak dibayarkan, masalah kesehatan dan keselamatan kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, pelecehan seksual, jam kerja yang tinggi dan masih banyak lagi, semua buruh turut merasakan penindasan.

Keterbukaan keanggotaan dalam serikat buruh sudah diakui pula dalam hukum positif, pasal 12 UU Serikat Pekerja/Buruh menyebutkan:

“Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus terbuka untuk menerima anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku bangsa, dan jenis kelamin.”

Oleh karena itulah, keanggotaan serikat buruh lebih bersifat pluralistik (majemuk) yang menyatukan buruh sebagai entitas kelas yang lintas agama, ras, etnis, suku, jenis kelamin dan ciri fisik.

Serikat buruh mau tidak mau harus memiliki pengelolaan keberagaman dan mewujudkan toleransi di dalamnya jika ingin menjadi sebuah serikat buruh yang bersatu dan kuat.

Oleh sebab itu, sentimen terhadap etnis, ras dan agama tertentu dalam kesadaran kaum buruh sebetulnya merugikan perjuangan buruh itu sendiri. Buruh menjadi sulit bersatu akibat terkotak-kotak oleh etnis, ras dan agama. Belakangan kita melihat bagaimana gencarnya sentimen terhadap etnis Tionghoa yang mayoritas Kristen dilancarkan begitu rupa, yang semakin menajam menjelang Pilpres 2014, hingga kini tak kunjung reda.

Buruh ikut terseret dalam arus propaganda melawan etnis dan agama tertentu. Padahal, inti dari perjuangan buruh tidak berada di situ. Kaum buruh bukalah kelompok etnis atau agama atau ras tertentu, tapi kelompok kelas yang terikat dalam satu ruang bersama yang dinamakan tempat kerja (pabrik). Lebih jauh lagi, semua buruh memiliki kesamaan di seluruh dunia, yakni sama-sama bekerja dan berjuang memperbaiki kondisi kerja agar menjadi lebih baik. Buruh di negeri manapun menghadapi masalah yang sama, sehingga persatuan kaum buruh diwujudkan dalam berbagai tingkatan.

Bentuk-bentuk organisasi buruh seperti federasi, konfederasi hingga afiliasi internasional adalah cermin bahwa gerakan buruh berperspektif bersatu secara internasional dengan berbagai latar belakang etnis, ras, agama, budaya dan jenis kelamin. Tak ada alasan bagi buruh untuk menjadi seorang rasis. Rasisme dan diskriminasi tak relevan bagi gerakan buruh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *