Chun Tae-il Pahlawan Buruh Korea

0

Solidaritas.net – Tokoh gerakan buruh yang terkenal di Korea selatan adalah Chun Tae-il. Siapakah sebenarnya Chun Tae-il , apa yang dilakukannya sehingga setiap tanggal 1 Mei buruh di Korea selalu mengenangnya ?

Sumber: SeptemberinSoul (fair use)

Chun Tae-il adalah seorang lelaki muda miskin tidak berpendidikan yang bekerja sebagai buruh potong pakaian di sebuah garmen di Pasar Damai, Seoul, Korea Selatan.

Dia dikenal sebagai buruh muda yang mempunyai semangat membangkitkan gerakan rakyat di Korea. Peristiwa yang membuat dunia melihat buruh muda ini adalah saat dia berusaha memperlihatkan penderitaan buruh pabrik yang miskin, sakit, kurang pendidikan, bekerja di atas jam rata-rata di sebuah lorong kecil berdebu yang diperas tanpa rasa malu oleh pengusaha.

13 November 1970, pukul 13.30. 

Chun Tae-il melakukan aksi mogok kerja menuntut kondisi kerja yang lebih baik dan memprotes sikap majikan dan pemerintah yang tidak peduli terhadap kondisi buruh. Aksi tersebut dilengkapi dengan plakat bertuliskan  “Kami bukan mesin, kami bukan budak, beri kami matahari sekali seminggu ” .

Saat aksi berlangsung polisi mencoba membubarkan dengan cara kekerasan. Chun Tae-il menyiram tubuhnya dengan bensin dan membakar diri.

Chun Tae-il meninggal dunia. Laki – laki muda kelahiran Taegu, Korea Selatan 26 Agustus 1948 meninggal saat usianya masih 22 tahun.

Kematiannya mengakibatkan kesedihan luar biasa rakyat Korea, bahkan diibaratkan air mata 60 juta rakyat Korea mencucur deras untuk mengiringi kepergian Chun Tae-il.

Beberapa surat kabar menjadikan peristiwa tersebut sebagai berita utama dengan judul” Seorang Buruh Pabrik dan Harapan Terputus-Tukang Potong Pakaian Chun Bunuh Diri”.

Setelah berita kematianya tersebar, iklim politik dan sosial berubah dengan cepat. Ratusan mahasiswa mengadakan rapat memprotes kebijakan pemerintah terhadap perburuhan dengan cara aksi mogok makan.

Perjuangan Tae-il juga membangkitkan kaum buruh muda dan gerakan buruh yang telah lama padam di Korea. Salah satunya gerakan 50 buruh perempuan datang ke Seoul menuntut upah mereka. Sebuah peristiwa yang belum terjadi sebelumnya.

Walaupun akhir tahun 1971 pemerintah kembali merampas senjata utama kaum buruh yaitu memberlakukan sistem tawar menawar,  namun semangat Tae-il tidak akan pernah dilupakan. Kata – kata terakhir pejuang muda dari Pasar Damai tetap menjadi pemicu semangat “Jangan biarkan kematianku menjadi sia-sia”.

Salah satu catatan harian Chun Tae-il yang terkenal adalah “Aku Harus Kembali”, catatan ini dia tulis 8 Agustus 1970.

Catatan ini  merupakan keputusan yang dia ambil untuk memerdekan diri seseorang dari penindasan, kesakiran dan  memperjuangkan martabat manusia.

Aku harus kembali

Sudah lama aku merasa bimbang dan pedih,
Kali ini aku mengambil keputusan yang mutlak,
Aku harus kembali, mendampingi saudara-saudaraku yang miskin,
Ketempat jiwaku berlabuh, jiwa-jiwa mudah dipasar damai,
Untuk membuktikan segenap jiwa dan ragaku.
Janji yang aku ucapkan selama berjam-jam dalam perenungan ;
Aku harus melindungi jiwa-jiwa yang rapuh itu.
Aku akan mengorbankan diriku, aku akan mati untuk kalian.
Bersabarlah, tunggu sebentar lagi.
Aku akan mengorbankan diriku, tapi bukan meninggalkan kalian
Kalian adalah rumah bagi jiwaku.

Hari ini hari Sabtu. Sabtu yang kedua bulan agustus.
Hari dimana aku mnegambil keputusan.
Tuhan, kasihanilah aku.
Aku sedang berjuang untuk menjadi embun bagi jiwa-jiwa yang dihina-dinhinakan
Tanpa dosa, yang tak terbilang banyaknya.

Yang telah ia lakukan selama empat bulan berada di pegunungan Samgak, memecah batu, menggali tanah dan mengangkut tanah dan mengangkut kayu rongsokan. 9 Agustus 1970 ia bulatkan tekadnya setelah lama merasa bimbang : “Aku harus kembali. Sungguh aku harus kembali”. Apakah ia tahan derita, kemiskinan, penghinaan, dan pelecehan selama 20 tahun hingga saat ini? Betapa sakit ia menunggu saat bisa berkata, tanpa rasa takut, tanpa penyesalan dan tanpa embel-embel apapun, “aku akan korbankan diriku, aku akan mati untuk kalian”.

Itulah saat yang telah lama ia tunggu-tunggu. Ia mulai memikirkan hal itu ketika ia menghibur dan mengerjakan pekerjaan seorang halper muda, yang duduk seperti patung dengan mata tertutup, tak mampu bergerak setelah bekerja selama empat malam berturut-turut, disuntik obat anti tidur. Ketika membawa anak perempuan yang tidak membawa uang sepeserpun pergi kerumah sakit karena muntah darah. Ketika mnyaksikan orang yang disingkirkan masyarakat dilokasi pembangunan dan berteriak : “makhluk yang bagian dari hidupku, yang sangat membutuhkan penghiburan, noda yang memuakan dalam masyarakat kita”, dan ketika ia bertekad menghancurkan situasi yang terkutuk ini.

Ini hanya akan terjadi bila orang sangat kritis terhadap masyarakat sehingga orang dapat melawan dan mengunbah masyarakat. Tae-il mencemooh dunia, ketika orang menjadi komoditas, meneriakan kebencian pada orang yang lebih suka merendahkan diri sendiri dengan memuja-muja nilai matrealistis, saat ini yang telah dinanti-nantikan. Seolah olah ia tahu momentum telah tiba, yang ia tulis pada bulan November 1969.

Tekad “Aku harus kembali”, merupakan keputusan, sebuah momentum yang sempurna tanpa kebohongan, kembali kepada realitas kehidupan yang ditolak, mendampingi jiwa-jiwa muda yang terinjak-injak di pasar damai, tempat air mata, kesakitan dan derita. Ia sendiri tidak mengerti pada siapa ia berpaling betapapun usaha telah ia lakukan. Keputusan untuk tidak menyerah pada nilai-nilai matrelaistis, untuk tetap hidup; menolak penghinaan, kepalsuan, dan godaan yang ditawarkan oleh perbudakan; keputusan menjadi manusia dengan jalan perjuangan demi martabat manusia, tak peduli betapa sunyi dan sulit jalan itu.

Kita sering dengar para cendekiawan dan tokoh agama yang senang dengan gaya hidup sebagai borjuis kecil, yang merasa empati dengan penderitaan kaum tertindas. “Empati” yang amat sederhana, yang akhirnya tampak seperti lebih ketimbang menunggu dipinggiran kaum yang tertindas dan menenangkan mereka. Bagi Tae-il kembali bukan berarti ketidakpastian. Kembali berarti untuk mempersembahkan hidupnya. tidak mundur sejengkalpun, berjuang tanpa kompromi, sebuah perjuangan dimana orang memberikan semua miliknya.

Kemudian ia mengumumkan; “aku harus berada disamping jiwa-jiwa muda di pasar damai yang merupakan bagian hidupku yang utuh”. Bahwa menyelamatkan jiwa-jiwa muda merupakan ambisinya yang mutlak, memberi pesan akan kejelasan dan kesederhanaan, tekad dan semangat keputusanya. Tentu saja, sejak saaat itu keputusanya berjuang bagi jiwa-jiwa muda di pasar Damai berarti ia berjuang untuk kemanusiaan yang dibinasakan oleh dunia yang tidak manusiawi.

Tae-il merujuk pada buruh-buruh muda; sesungguhnya pada semua orang yang menderita, juga; “orang-orang yang tak berdaya yang harus dilindungi”. Apakah ini peryataan yang angkuh, atau bukti martir kompleks? Sebaliknya, peryataan ini adalah suara orang yang sungguh-sungguh manusiawi. Kita melihat sepintas pada orang yang menolak rasa rendah diri dan tak berdaya, yang ditimpakan masyarakat pada yang miskin dan kurang pendidikan. Orang ini sekarang berdiri dengan kekuatanya sendiri, mandiri, yakin akan menangnya kemanusiaan. Kita lihat Chung Tae-il yang sudah matang, seorang buruh muda yang bangkit, sangat bangga dengan tanggung jawabnya sebagai manusia.

Semua yang ia inginkan, berjuang menjadi seperti “embun pagi” bagi jiwa-jiwa tanpa dosa yang menderita. Inilah kesederhanaan, kesedihan dan kepuasanya. Ia buang semua yang ia miliki hanya untuk menjadi setetes embun.
Tidak ada tekad kecuali orang yang mempertaruhkan hidupnya untuk tekad tersebut.

Betapa agungnya sentimen itu, dan berbunga-bunganya keputusan untuk berjuang, bukanlah keputusan yang mutlak. Hanya sumpah palsu yang akan hancur dihadapan realitas yang keras diambang pintu antara hidup dan mati; kecuali jika orang bisa berkata; “Aku mengorbankan diri, dan mati untukmu”

Masalah hidup adalah masalah kematian, dan masalah kematian adalah masalah hidup. Orang yang hidupnya tidak manusiawi, tidak bisa mati secara manusiawi, akibatnya tidak bisa hidup dengan manusiawi. Chun Tae-il memutuskan terlibat dalam perjuangan, bahkan siap untuk mati, sebab ia telah meninggalkan semua yang tidak manusiawi dalam hidupnya.

Semua yang ia lihat dan alami dalam kehidupan yang tidak manusiawi di lapisan masyarakat yang terbawah, buruk dan sengsara kembali. Ketika ia benar-benar sadar dan benci setengah mati. Ia berteriak, ia tak ingin terikatpada keadaan yang tidak manusiawi. Ia mengaku, kehidupan seperti itu lebih menakutkan ketimbang kematian, ia merasa jijik menjalani kehidupan seperti itu. Karena itu dia berkata dengan jelas “aku akan mengorbankan diri, aku akan mati untuk kalian”

Ia bisa meninggalakan segalanya,. Yang tidak dapat ia abaikan, yang harus ia junjung sampai akhir, adalah tempat berlindung jiwanya, perjuangan demi mereka yang di injak-injak, dilecehkan dan dihina di “pasar manusia”.

Sekarang tekadnya sudah bulat. Ia harus kembali di mana tak ada kebohongan, tak ada ketakutan. Genaplah filsafat Chun Tae-il.

Yang harus dilakukan hanya bertindak, tindakan yang berkobar-kobar. Semua akan melihat kemarahan yang tak terbendung dan cinta kasih yang membara dari seorang yang lemah yang bisa menghancurkan setiap benteng perbudakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *