Memahami Hubungan Kerja

0

Pengertian hubungan kerja menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 15 adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

Foto ilustrasi.

Hubungan kerja itu sendiri dilakukan oleh dua pelaku yaitu pengusaha dan pekerja/buruh. Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai hubungan kerja, kita akan memahami terlebih dahulu siapa itu pengusaha dan siapa itu pekerja/buruh sesuai Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan, pengertian pengusaha berdasarkan Pasal 1 angka 5 yaitu:

  • orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
  • orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
  • orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Selain pelakunya, dalam hubungan kerja juga terdapat beberapa unsur di antaranya adalah perjanjian kerja, pekerjaan, upah, dan perintah. Dimana semua unsur tersebut telah diatur dengan jelas dalam dasar-dasar hukum yang mengatur ketenagakerjaan. Lebih jelasnya, berikut adalah 4 unsur hubungan kerja yang dijelaskan lebih terperinci:

1. Pekerjaan

Pekerjaan adalah suatu hubungan yang melibatkan dua pihak yaitu antara pemberi kerja dengan para pekerja/buruh yang harus dilaksanakan sendiri oleh pekerja/buruh. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1603a disebutkan bahwa buruh diwajibkan melakukan sendiri pekerjaannya, hanya dengan izin majikan ia dapat menyuruh orang lain menggantikannya.

2. Perintah

Pekerja/buruh harus menaati perintah dari pemberi kerja dan hal ini telah dijelaskan pada KUHPerdata Pasal 1603 yang menyebutkan bahwa buruh wajib melakukan pekerjaan yang diperjanjikan menurut kemampuannya dengan sebaik-baiknya. Jika sifat dan luasnya pekerjaan yang harus dilakukan tidak dirumuskan dalam perjanjian atau reglemen, maka hal itu ditentukan oleh kebiasaan.

3. Upah

Unsur yang ketiga ialah upah, sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 88 ayat (1) disebutkan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selanjutnya, pada ayat (2) menyatakan bahwa untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.

Sementara itu, KUHPerdata Pasal 1602 menyatakan bahwa majikan wajib membayar upah buruh pada waktu yang ditentukan. Oleh karena itu, dibuat suatu kebijakan dalam Undang-undang No 13 Tahun 2003 Pasal 88 ayat (3) untuk melindungi pekerja/buruh yang meliputi sebagai berikut:

  • upah minimum;
  • upah kerja lembur;
  • upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
  • upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
  • upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
  • bentuk dan cara pembayaran upah;
  • denda dan potongan upah;
  • hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
  • struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
  • upah untuk pembayaran pesangon; dan
  • upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Berdasarkan Pasal 90 ayat (1)  UU No 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa pengusaha/pemberi kerja dilarang memberi upah kepada pekerja/buruh dibawah upah minimum. Adapun dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 (Permenakertrans No 7 Tahun 2013)  tentang Upah Minimun Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman.

Selanjutnya pada Permenakertran No 7 Tahun 2013 Pasal 2 ayat (1), (2), (3), dan (4) yang menjelaskan tentang dasar dan wewenang penetapan upah minimum, sebagai berikut:

  • Penetapan Upah Minimum didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
  • Upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan pada pencapaian KHL.
  • Pencapaian KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan perbandingan besarnya Upah Minimum terhadap nilai KHL pada periode yang sama.
  • Untuk pencapaian KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur menetapkan tahapan pencapaian KHL dalam bentuk peta jalan pencapaian KHL bagi Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu dan bagi perusahaan lainnya dengan mempertimbangkan kondisi kemampuan dunia usaha.

4. Perjanjian Kerja

Pada Pasal 1 angka 14 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Suatu hubungan kerja bisa terjadi karena adanya perjanjian kerja yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yaitu pemberi kerja/pengusaha dengan pekerja/buruh. Sesuai dengan Pasal 52 ayat (1) yang menyebutkan perjanjian kerja dibuat atas dasar:

  • kesepakatan kedua belah pihak;
  • kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
  • adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
  • pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perjanjian kerja berdasarkan jangka waktunya dibagi menjadi dua, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang telah dijelaskan secara rinci dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pasal 1 angka 1 dan 2, yang berbunyi:

  • Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
  • Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap
  • Suatu hubungan kerja dinyatakan berakhir apabila kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian kerja telah berakhir atau karena suatu kejadian. Hal tersebut telah dijelaskan dalam Pasal 61 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dikatakan berakhir apabila pekerja meninggal dunia; berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Demikian penjelasan mengenai hubungan kerja dan unsur-unsur yang ada di dalamnya. Dimana dalam hubungan kerja terdapat pelaku/pelaksananya yaitu pemberi kerja/pengusaha dan pekerja/buruh. Sedangkan, landasan terlaksananya hubungan kerja adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Hubungan kerja dikatakan berakhir jika perjanjian kerja telah berakhir karena beberapa sebab yaitu pekerja meninggal dunia, berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja, adanya putusan pengadilan, atau adanya kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja.**

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *