Bela Petani, Buruh Hadang Aparat

0
Solidaritas.net, Karawang – Ribuan massa buruh menghadang aparat Brigade Mobil (Brimob) yang akan mengeksekusi tanah seluas 350 hektar, di Telukjambe, Kabupaten Karawang, Selasa (24/6/2014). Sejak pagi, buruh melakukan blokade tiga lapis, yakni di Tol Karawang Barat, Tol Karawang Timur dan Pasar Kosambi untuk mencegah masuknya ribuan aparat yang mengawal eksekusi Pengadilan Negeri (PN) Karawang).

“Sejak pagi, kami stand by di sejumlah titik untuk menghadang 7000 Brimob dan 12 kopaja preman dari Jakarta. Semoga Allah meridhoi perjuangan kami,” kata pengurus Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Daeng Wahidin.

Selain membela petani, gerakan buruh yang dipelopori oleh Aliansi Besar Karawang (ABK) ini juga menyerukan mogok daerah untuk menuntut 13 perusahaan mempekerjakan kembali 5000 buruh yang telah dipecat. 13 perusahaan tersebut telah melanggar peraturan ketenagakerjaan, termasuk Perda Karawang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Ketenagakerjaan, sehingga seharusnya izin usahanya bisa dicabut oleh Bupati.

Aparat Brimob menembakkan peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan aksi blokade tersebut. Massa buruh berhasil dipukul mundur sehingga aparat dan juru sita berhasil mencapai desa Wanasari. Para petani yang terdiri dari pria, perempuan dan anak-anak melakukan perlawanan dengan aksi duduk menghadang aparat. Namun, aparat menembakkan gas air mata dan membubarkan massa. (Baca juga: ABK dan Sepetak Kepung Kejaksaan Tuntut Pembebasan Ratna Ningrum)

Eksekusi tanah di Telukjambe dilakukan untuk kepentingan perusahaan real estate PT Sumber Air Mineral Pratama (SAMP) yang pemenang sengketa secara perdata di Mahkamah Agung, mengalahkan 1200 petani yang telah mendiami lahan tersebut selama lebih dari 50 tahun.

350 hektar lahan eksekusi mencakup Desa Wanasari, Wanakerta dan Margamulya. Mereka menolak dieksekusi, terlebih lagi dengan ganti rugi yang hanya Rp.4000 per meter. Menurut siaran pers Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), warga telah memanfaatkan lahan 3500 hektar tersebut sejak tahun 1958. Hak warga atas tanah semakin dipertegas dengan lahirnya UUPA No. 5 Tahun 1960.

“Tahun 1974, PT Dasa Bagja menyewa tanah masyarakat dengan meminjam surat-surat milik masyarakat seperti Girik/Kikitir (Letter C), Ipeda dan tidak pernah keluar HGU, namun perusahaan tidak mengembalikan dokumen hak masyarakat atas tanah kepada masyarakat. Masyarakat tetap mengelola dan memanfaatkan tanah itu untuk bertani secara turun-temurun. Bahkan warga juga membayar pajak kepada negara sampai saat ini. 1986, Tanpa sepengetahuan masyarakat, PT. Dasa Bagja mengalihkan prioritas permohonan HGU kepada PT Makmur Jaya Utama, namun tidak juga mendapatkan HGU. 1990, lagi, tanpa sepengetahuan masyarakat, PT. Makmur Jaya Utama mengoperalihkan lagi tanah yang bukan haknya tersebut kepada PT. Sumber Air Mas Pratama (SAMP),” siaran pers KPA, 19 Juli 2014. (Baca juga: Ratna Ningrum Bebas, JPU Langsung Banding)

Dalam proses sengketa, mantan Kepala Desa Margamulya, Ratna Ningrum dituduh melakukan pemalsuan surat Letter C. Ia divonis bebas di PN Karawang, 10 September 2013, namun kalah di tingkat banding dan divonis penjara selama 6 bulan. (Rn)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *